Liputan6.com, Jakarta Dario Hubner adalah contoh bahwa jalan menuju kejayaan tak selalu lurus dan rapi. Ia tak datang dari akademi elite, tak punya kontrak dengan klub-klub raksasa, dan tak pernah menjadi langganan Timnas Italia. Namun, jika bicara soal mencetak gol, pria berjuluk Il Bisonte (bison) ini tak pernah main-main—meski kadang mulutnya masih berasap rokok.
Namanya melejit di usia 30-an, saat kebanyakan striker sudah berpikir soal gantung sepatu. Hubner justru baru debut di Serie A saat usianya menyentuh kepala tiga. Empat tahun kemudian, ia memuncaki daftar top skor Serie A musim 2001/02, sejajar dengan David Trezeguet dari Juventus. Uniknya, prestasi itu diraih sembari tetap memegang teguh kebiasaannya: rokok dan alkohol.
Kisah Hubner adalah kombinasi antara ketekunan, bakat alami, dan sikap santai yang nyaris sembrono. Di balik angka-angka gol yang mengesankan, ada cerita tentang botol grappa (minuman beralkohol jenis brendi yang berasal dari Italia) buatan ayah, ruang ganti penuh asap rokok, dan seorang pria yang hanya ingin bermain bola dengan caranya sendiri.
Si Pencetak Gol yang Tak Pernah Jauh dari Grappa
Banyak pemain menjaga pola makan ketat, menghindari alkohol, dan punya rutinitas olahraga teratur. Hubner? Tidak juga. Ia mengaku merokok 20–25 batang setiap hari, dan minum grappa buatan rumah yang dikirimkan langsung oleh ayahnya ke tempat latihan.
“Ayah saya biasa menyelundupkan rokok dan grappa buatan rumah ke tempat pemusatan latihan kalau kami sedang berlatih dekat rumah di Trieste,” ujar Hubner dalam wawancara dengan Quotidiano.net pada 2020. Ia juga menambahkan, “Saya biasa merokok 20-25 batang Marlboro per hari dan saya melakukannya secara terbuka.”
Yang menarik, tak ada pelatih yang mencoba mengubah gaya hidupnya. “Tak ada pelatih yang mencoba menghentikan saya, yang mereka pedulikan hanya saya mencetak gol.” Dan ya, Hubner memang mencetak banyak gol. Gaya hidup yang terlihat ‘berantakan’ tak mengurangi ketajamannya sedikit pun.
Dari Fano ke Piacenza: Perjalanan Si Bison
Hubner memulai karier dari kasta bawah sepak bola Italia, mencetak gol demi gol di Serie C dan Serie B. Ia menjadi top skor di Serie C1 bersama Fano pada 1991/92, dan mengulanginya di Serie B bersama Cesena pada 1995/96. Namun, semua pencapaian itu baru mendapat perhatian luas saat ia hijrah ke Serie A bersama Brescia di usia 30 tahun.
Setelah mencetak 75 gol di dua kasta teratas bersama Brescia, Hubner pindah ke Piacenza. Di klub yang tak besar itu, ia justru mengukir sejarah. Gol pertamanya datang saat mengalahkan AS Roma, sang juara bertahan. Ia kemudian mencetak tiga brace beruntun dan terus menambah pundi-pundi gol hingga musim berakhir.
Dengan 24 gol, Hubner menutup musim sebagai Capocannoniere Serie A, sejajar dengan David Trezeguet yang dibantu bintang-bintang seperti Alessandro Del Piero, Pavel Nedved, dan Edgard Davids. Hubner? Ia cuma ditemani pemain-pemain seperti Paolo Poggi, Matuzalem, dan Eusebio Di Francesco. Namun, dalam urusan menjebol gawang, ia tetap tak tertandingi.
Pahlawan Rakyat yang Tak Pernah Mengenakan Seragam Azzurri
Meski mencetak lebih dari 300 gol sepanjang kariernya, Hubner tak pernah sekali pun dipanggil ke Timnas Italia. Bukan karena kurang kualitas, tapi mungkin karena ia terlalu 'liar' untuk dimasukkan ke sistem. Namun, publik tetap mencintainya karena ia mewakili sesuatu yang tak lagi banyak ditemukan dalam sepak bola modern—kebebasan.
Ia bukan pemain yang terobsesi dengan gaya hidup mewah. Hubner hanya ingin mencetak gol dan menikmati hidupnya dengan cara yang sederhana: bermain bola, minum grappa, dan merokok di sela-sela latihan. Bahkan saat akhirnya berhenti merokok, ia memilih beralih ke vape. “Saya akhirnya berhenti merokok bulan Mei lalu, sekarang saya hanya nge-vape,” ujarnya.
Dario Hubner adalah legenda yang tak butuh panggung megah. Ia membuktikan bahwa dalam sepak bola, tak semua hal harus sempurna. Terkadang, cukup jadi diri sendiri dan terus mencetak gol—meski tangan kiri memegang rokok dan segelas grappa menunggu di ruang ganti.