Liputan6.com, Jakarta - Gedung Putih mengambil tindak lanjut dalam rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump merombak tatanan perdagangan global dengan merilis rincian baru pada Kamis malam, 31 Juli 2025, termasuk serangkaian tarif baru yang kini resmi diberlakukan melalui perintah eksekutif.
Besaran tarif tersebut berkisar antara 10% hingga 40% dan berlaku bagi hampir seluruh mitra dagang internasional, dilansir dari laman Yahoo Finance, pada Jumat (1/8/2025).
Langkah ini menandai perubahan besar dalam kebijakan perdagangan AS, mencakup kenaikan tarif untuk Kanada menjadi 35% dari yang sebelumnya 25%, serta tarif di atas 30% untuk negara-negara seperti Afrika Selatan dan Swiss.
Namun, sebagian besar tarif baru ini mengalami penundaan pemberlakuan selama 7 hari ke depan, menggantikan rencana awal Trump yang menetapkan tenggat pada Jumat 1 Agustus tengah malam.
"Modifikasi ini akan berlaku mulai pukul 12:01 pagi waktu timur (EDT), tujuh hari setelah tanggal perintah ini," bunyi dokumen resmi yang telah ditandatangani.
Satu pengecualian adalah Kanada. Kenaikan tarif untuk negara tersebut masuk dalam perintah terpisah yang berfokus pada isu perdagangan obat ilegal, dan tetap berlaku mulai Jumat seperti jadwal semula.
Untuk negara lain, perintah itu juga memberi kelonggaran tambahan, tarif yang lebih rendah tetap berlaku untuk barang yang sudah dikirim sebelum 7 Agustus dan tiba di AS sebelum 5 Oktober.
Namun setelah tarif baru mulai diberlakukan, dampaknya akan meluas secara signifikan.
India, yang sebelumnya sempat optimistis akan tercapai kesepakatan dagang, tetapi prosesnya terhambat dalam beberapa pekan terakhir, dan diperkirakan akan dikenai tarif sebesar 25%. Meski begitu, para negosiator di India tampaknya masih memiliki waktu satu minggu lagi untuk mengajukan tawaran.
Sementara itu, Taiwan, salah satu mitra dagang utama Amerika Serikat, juga masuk dalam daftar dan diproyeksikan akan dikenakan tarif sebesar 20%.
Tunda Kenaikan untuk Meksiko
Dokumen resmi yang dirilis Gedung Putih pada Kamis mengonfirmasi sejumlah rincian dari kesepakatan terbaru dengan mitra dagang utama Amerika Serikat. Di antaranya, tarif sebesar 15% akan dikenakan terhadap Uni Eropa, Korea Selatan, dan Jepang.
Negara-negara Asia Tenggara juga termasuk dalam daftar, dengan tarif antara 19% hingga 20% yang akan segera diberlakukan. Sementara itu, tarif untuk Inggris tetap di angka 10% tanpa perubahan.
Keputusan Kamis ini sempat tertunda oleh satu perubahan besar, yaitu penangguhan selama 90 hari atas tarif baru terhadap Meksiko. Presiden Trump menyatakan bahwa tarif tetap dipertahankan di 25% setelah melakukan “pembicaraan telepon yang sangat sukses” dengan pihak Meksiko.
Puluhan mitra dagang yang lebih kecil juga mengalami kenaikan tarif dari 10% menjadi 15%, termasuk beberapa negara yang sebelumnya tidak disebutkan dalam pengumuman Selasa.
Namun, sejumlah negara yang saat ini mencatat surplus perdagangan dengan AS dikecualikan dari kenaikan tarif. Mereka akan tetap dikenai tarif 10%, sebuah keputusan yang mengejutkan, mengingat pernyataan Trump sebelumnya yang menyiratkan bahwa 15% akan menjadi ambang batas minimum baru.
Perintah pada Kamis itu juga menyoroti masalah transshipping atau praktik pengalihan barang melalui negara ketiga untuk menghindari bea masuk. Pemerintah mengancam tarif tambahan sebesar 40% untuk barang-barang yang dianggap sebagai hasil transshipping, meskipun definisi rinci soal pelanggaran ini belum dijelaskan lebih lanjut.
Pengumuman ini muncul di tengah kebijakan tarif 50% atas tembaga yang sudah lebih dulu diumumkan dan akan berlaku mulai tengah malam nanti, bersamaan dengan tarif baru terhadap Kanada.
Adapun Brasil juga menjadi target kebijakan tarif tinggi. Tarif 50% terhadap negara tersebut akan berlaku lebih cepat, satu hari lebih awal, karena perintah eksekutifnya dihitung berdasarkan jadwal tujuh hari yang dimulai sejak Rabu lalu.
Wewenang Trump Dipertanyakan di Tengah Kebijakan Tarif Baru
Langkah cepat pemberlakuan tarif baru ini muncul bersamaan di tengah perdebatan antara para importir usaha kecil dan Departemen Kehakiman AS pada hari Kamis, mengenai apakah Presiden Trump sebenarnya memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan tersebut.
Tim Trump mengandalkan Undang-Undang Kekuasaan Darurat Ekonomi Internasional tahun 1977 (International Economic Emergency Powers Act) untuk mengatur tarif, dengan dalih bahwa undang-undang tersebut memberikan wewenang kepada presiden untuk “mengatur” perdagangan internasional setelah menyatakan keadaan darurat nasional.
Kebijakan ini juga menandai puncak terbaru dari fokus Presiden Trump pada tarif selama masa jabatan keduanya. Meski sudah menyebut dirinya sebagai "pria tarif" sejak 2018, namun kini langkah-langkah di periode keduanya jauh lebih agresif.
Menurut perhitungan terbaru dari Yale Budget Lab, sebelum penyesuaian tarif yang diumumkan Kamis, konsumen AS sudah menghadapi tarif efektif rata-rata sebesar 18,4%, tingkat tertinggi sejak 1933 (era krisis besar AS)
Angka ini diperkirakan akan terus naik dalam beberapa hari ke depan seiring penerapan tarif baru.
Seperti yang sering diklaim Trump, bea masuk ini juga telah mencetak rekor pendapatan baru dari tarif, bahkan ketika tarif masih berkisar di kisaran dasar 10%.
Dalam pernyataannya Kamis lalu, Trump menyatakan, “Tarif membuat Amerika kembali hebat dan kaya,” seraya menambahkan bahwa tarif rendah di masa lalu justru merugikan negara, dan kini “keadaan telah sepenuhnya berbalik arah".