Ekonomi Indonesia Bisa Tembus 8% dalam 5 Tahun, Ini Syaratnya

1 month ago 8

Liputan6.com, Jakarta Indonesia diprediksi bisa mencapai pertumbuhan ekonomi 8% dalam 5 tahun mendatang. Syaratnya, Indonesia mampu memaksimalkan investasi masuk ke sektor industri.

Ketua Umum Kawasan Industri Indonesia (HKI) Akhmad Ma’ruf Maulana mengatakan, HKI terus bersinergi dengan pemerintah dan mendorong kawasan industri menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi, sekaligus wadah integrasi antara talenta, teknologi, dan investasi menuju Indonesia yang mandiri dan maju.-

"HKI optimis dapat mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8% dalam lima tahun ke depan, asalkan seluruh investasi yang masuk, baik melalui Kawasan Industri, PSN maupun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dapat didorong dan dipercepat proses perizinannya oleh kementerian terkait serta pemerintah daerah," kata dia dikutip Kamis (7/8/2025).

"Jika hal tersebut dapat dipermudah, kami yakin dan optimis target tersebut bisa tercapai," lanjut dia.

Sejalan dengan hal tersebut, HKI menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) bersama Kementerian Investasi dan Hilirisasi serta Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi di Sasana Budaya Ganesha, Bandung.

Penandatanganan ini berlangsung dalam rangkaian Konvensi Sains, Teknologi dan Industri 2025, dan turut disaksikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto.

Nota kesepahaman ini merupakan bentuk nyata komitmen bersama dalam mewujudkan sinergi strategis antara sektor industri, pemerintah, dan dunia pendidikan tinggi. Fokus utama kerja sama ini diantaranya meliputi:

Kemandirian Ekonomi

Lebih jauh, penandatanganan ini juga merupakan bagian dari perwujudan Asta Cita dalam mendorong kemandirian ekonomi nasional, memperkuat keberlanjutan, dan mempercepat inovasi teknologi sebagai pilar utama pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan.

Akhmad Ma’ruf Maulana, menyatakan bahwa langkah ini merupakan upaya konkret untuk menyatukan visi dan kekuatan antar pemangku kepentingan dalam membangun ekosistem industri yang inovatif, adaptif, dan berkelanjutan.

"Melalui kolaborasi ini, HKI berperan aktif sebagai jembatan antara sektor industri dan institusi pendidikan serta pemerintah, untuk menciptakan daya saing baru yang berbasis pengetahuan dan inovasi," ujar Ma’ruf.

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Sentuh 5,12%, Begini Kata Ekonom

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 yang mencapai 5,12%. Secara angka, ini tampak sebagai pencapaian positif di tengah tantangan global dan domestik.

Namun, alih-alih disambut dengan optimisme, angka ini justru memicu banyak pertanyaan dari publik dan kalangan ahli. Salah satunya, Ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai angka tersebut berdiri sendiri dan bertolak belakang dengan proyeksi banyak lembaga kredibel.

"Pada akhirnya, rilis angka pertumbuhan PDB sebesar 5,12% oleh BPS tidak membawa optimisme, melainkan justru menjelma menjadi sumber kecurigaan massal," kata Achmad dalam keterangannya, Kamis (7/8/2025).

Bank Dunia, IMF, hingga sejumlah lembaga riset domestik sebelumnya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berkisar antara 4,7% hingga 4,95%. Proyeksi Bank Indonesia menempatkan pertumbuhan antara 4,7%–5,1%, yang berarti angka rilis BPS melampaui batas atas estimasi paling optimistis. Hal ini dianggap tidak sejalan dengan kondisi riil di lapangan, seperti lemahnya konsumsi masyarakat, stagnasi investasi, dan penurunan ekspor.

Dia menilai, kesenjangan antara angka resmi BPS dan proyeksi lembaga-lembaga tersebut memunculkan pertanyaan besar apakah angka ini benar mencerminkan kondisi ekonomi yang sesungguhnya, atau justru menimbulkan krisis kepercayaan terhadap data resmi negara.

Metodologi BPS Dipertanyakan

Achmad Nur Hidayat menilai, perbedaan besar antara data dan realita harus menjadi alarm bagi pemerintah. Ia menyoroti kemungkinan bahwa BPS menggunakan metodologi lama yang sudah tidak lagi cocok dengan struktur ekonomi digital saat ini.

Dia menuturkan, ekonomi telah berubah pesat, terutama dengan munculnya sektor digital dan informal yang mungkin belum tercakup optimal dalam survei BPS.

"Keraguan publik terhadap anomali data ini mengerucut pada dua kemungkinan yang sama-sama meresahkan, yang harus kita bedah dengan nalar kritis. Opsi pertama adalah kemungkinan adanya inkompetensi dan kesalahan metodologis yang tidak disengaja," ujarnya.

Read Entire Article
Bisnis | Football |