Liputan6.com, Jakarta - Ekspor Jepang kembali mencatat penurunan pada Juni, turun 0,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ini menjadi penurunan dua bulan berturut-turut setelah melemah 1,7 persen pada Mei, yang mencerminkan terus turunnya permintaan global terhadap produk Jepang.
Hasil ini berbanding terbalik dengan perkiraan sejumlah ekonom yang disurvei Reuters, yang sebelumnya memproyeksikan ekspor akan tumbuh 0,5 persen. Penurunan ini juga terjadi di tengah stagnasi dalam pembicaraan perdagangan antara Jepang dan Amerika Serikat (AS), yang turut menambah tekanan pada kinerja ekspor Negeri Sakura. Dilansir dari CNBC. Kamis (17/7/2025).
Ekspor Jepang ke China yang merupakan mitra dagang terbesarnya turun 4,7 persen secara tahunan pada Juni. Sementara itu, pengiriman ke Amerika Serikat anjlok lebih dalam, mencapai penurunan 11,4 persen, lebih parah dibanding penurunan 11 persen pada Mei lalu.
Pelemahan ekspor ini terjadi di tengah ketegangan perdagangan yang kian meningkat. Mulai 1 Agustus, Jepang akan menghadapi tarif balasan dari Amerika Serikat sebesar 25 persen, sedikit lebih tinggi dari pengumuman awal sebesar 24 persen yang disampaikan pada peringatan "Hari Pembebasan".
Presiden AS Donald Trump, dalam pernyataannya pada Rabu, menegaskan kembali tarif tersebut akan diberlakukan terhadap produk impor dari Jepang. Ia juga menyatakan pesimistis akan tercapainya kesepakatan dagang yang lebih luas dengan Jepang dalam waktu dekat.
Marcel Thieliant, Kepala Asia-Pasifik di Capital Economics, mencatat bahwa penurunan ekspor Jepang ke Amerika Serikat sebesar 11,4 persen merupakan yang paling tajam sejak awal pandemi Covid-19 pada 2020.
Tekanan Tarif Mulai Terasa
Ekspor termasuk barang dan jasa merupakan komponen penting dalam perekonomian Jepang. Menurut data terbaru Bank Dunia, ekspor menyumbang hampir 22 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang pada 2023.
Sejak 3 April, mobil buatan Jepang yang diimpor ke Amerika Serikat dikenakan tarif sebesar 25 persen. Padahal, ekspor mobil ke AS merupakan tulang punggung ekonomi Jepang karena mencakup 28,3 persen dari total ekspor sepanjang 2024, menurut data bea cukai.
Namun, tekanan tarif mulai terasa. Data Kementerian Perdagangan mencatat ekspor kendaraan bermotor Jepang termasuk mobil, bus, dan truk ke AS turun 26,7 persen pada Juni, melanjutkan penurunan sebesar 24,7 persen pada Mei.
Marcel Thieliant dari Capital Economics menilai para produsen tampaknya memilih strategi pemotongan harga demi menjaga pangsa pasar. Akibatnya, meski volume ekspor mobil ke AS justru naik 4,6 persen secara tahunan, nilai ekspornya turun tajam 25,3 persen dibanding tahun lalu.
“Sebagian dari hal itu hanya mencerminkan penguatan yen karena ekspor ke AS biasanya ditagih dalam dolar. Tetapi sebagian besar disebabkan oleh pemotongan harga, dengan produsen mobil tampaknya menyerap hampir semua tarif AS sebesar 25 persen yang diberlakukan Trump pada bulan April dalam margin keuntungan mereka,” tegasnya.
Berpotensi Masuk Resesi
Para Analis mengatakan kepada CNBC tarif tambahan dari Amerika Serikat berpotensi mendorong Jepang masuk ke jurang resesi, mengingat tingginya ketergantungan negara tersebut pada sektor ekspor.
Pada kuartal pertama tahun ini, ekonomi Jepang sudah mengalami kontraksi dibandingkan kuartal sebelumnya akibat lemahnya ekspor. Jika kontraksi kembali terjadi pada kuartal berikutnya, Jepang secara teknis akan masuk ke dalam resesi yakni dua kuartal berturut-turut pertumbuhan negatif.
Negosiator utama Jepang, Ryosei Akazawa, pada 8 Juli menegaskan setiap kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat harus mencakup konsesi di sektor otomotif bagi Jepang. Ia juga menolak seluruh tenggat waktu yang diajukan, termasuk batas waktu 1 Agustus dari pihak AS, dan menekankan bahwa Jepang tidak akan mengorbankan sektor pertaniannya demi mencapai kesepakatan awal.
Ketegangan memuncak setelah Presiden AS Donald Trump pada 1 Juli menyerang Jepang melalui platform Truth Social. Ia menyebut bahwa Jepang “tidak akan mengambil BERAS kita”, meski negara tersebut tengah menghadapi kekurangan pasokan beras.
Faktanya, sepanjang 2024, Jepang telah mengimpor lebih dari 350.000 ton beras dari Amerika Serikat, menjadikan AS sebagai pengekspor beras terbesar ke Jepang pada tahun tersebut.
Sikap Garis Jepang
Penasihat ekonomi senior perdana menteri Jepang, Takeshi Niinami mengatakan, Jepang mungkin telah mengambil sikap yang terlalu keras dalam negosiasi tarif dengan Presiden AS Donald Trump.
"Saya pikir sejak awal, Jepang tidak menerima (tarif) 10 persen, bahkan 10 persen. Saya pikir Jepang seharusnya menganalisis bahwa 10 persen adalah suatu keharusan,” ujarnya di acara “Squawk Box Asia” di CNBC.
Niinami, yang juga CEO Suntory Holdings, salah satu produsen minuman terbesar di Jepang, menyoroti kebijakan tarif resiprokal dasar sebesar 10 persen yang diberlakukan pemerintahan Trump. Ia mencatat bahwa tarif tersebut diterapkan secara global, bahkan terhadap negara-negara yang justru mengalami defisit perdagangan dengan Amerika Serikat.
“Jika itu terjadi, kita tidak akan membahas (tarif resiprokal) 25 persen.”
Sejak April, pejabat Jepang, termasuk negosiator utama Ryosei Akazawa, terus mendorong penghapusan tarif impor Jepang ke Amerika Serikat. Namun, Niinami, menilai Jepang tak seharusnya langsung menerima tarif tinggi sebesar 25 persen tanpa syarat.
“Kita harus memberi kesan bahwa Jepang terbuka, misalnya melalui pengurangan hambatan non-tarif seperti standar keselamatan mobil. Kita juga perlu membahas bagaimana meningkatkan impor produk pertanian,” ujarnya.
Sikap Jepang
Meski demikian, Niinami mengakui membuka pasar Jepang untuk lebih banyak produk pertanian asing bukanlah keputusan mudah, terutama di tengah ketegangan dan resistensi politik dalam negeri.
Pemilihan Majelis Tinggi Jepang dijadwalkan berlangsung pada Minggu, dan jajak pendapat Nikkei menunjukkan bahwa koalisi pemerintahan Perdana Menteri Shigeru Ishiba berisiko kehilangan mayoritas. Langkah membuka pasar pertanian bisa memicu penolakan dari petani kelompok yang selama ini menjadi basis pendukung utama Partai Demokrat Liberal (LDP).
“Setidaknya sebelum hari pemilihan 20 Juli, Jepang harus menunjukkan kesediaan dan sikap untuk berdamai dan mencapai kesepakatan dengan Amerika Serikat,” ujar Niinami.