Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perdagangan Korea Selatan mengungkapkan Menteri Perdagangan Cheong In-kyo telah meminta Amerika Serikat untuk membebaskan negaranya dari kebijakan tarif timbal balik yang akan mulai berlaku pada April 2025.
Permintaan ini disampaikan dalam pertemuan dengan Perwakilan Dagang Amerika Serikat, Jamieson Greer, di Washington pekan ini. Dalam pertemuan tersebut, Cheong menegaskan Korea Selatan seharusnya tidak mendapatkan perlakuan yang merugikan.
"Kami berharap AS mempertimbangkan hubungan dagang yang sudah terjalin erat dan memberikan pengecualian bagi Korea Selatan dari kebijakan tarif ini," ujar Cheong, dikutip dari CNBC, Minggu (16/3/2025).
Pengumuman Donald Trump
Presiden AS Donald Trump sebelumnya mengumumkan mulai 2 April, AS akan menerapkan tarif timbal balik kepada semua mitra dagangnya. Trump secara khusus menyoroti Korea Selatan, menuding bahwa negara tersebut mengenakan tarif impor empat kali lebih tinggi dibandingkan yang diberlakukan AS.
Namun, pemerintah Korea Selatan membantah klaim tersebut. Berdasarkan data tahun 2024, tarif efektif Korea Selatan atas barang impor dari AS hanya sebesar 0,79%, berkat perjanjian perdagangan bebas antara kedua negara.
Meskipun ada perbedaan pandangan, kedua belah pihak sepakat untuk terus berdiskusi guna mencari solusi yang adil dan saling menguntungkan.
"Kedua pihak sepakat mereka akan melanjutkan diskusi untuk mencari kemajuan yang konstruktif dan saling menguntungkan terkait langkah-langkah tarif dan nontarif di masa mendatang," kata kementerian perdagangan Korea Selatan.
Sementara itu, Pejabat Presiden Korea Selatan, Choi Sang-mok, menyoroti kebijakan proteksionisme Trump yang dinilai menyasar Seoul. Ia telah menginstruksikan pemerintahannya untuk lebih aktif berkomunikasi dengan pihak AS guna mengklarifikasi kesalahpahaman dan menghindari dampak negatif terhadap perdagangan kedua negara.
Indonesia Masuk Daftar Target Tarif Trump
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan Indonesia termasuk dalam daftar negara yang menjadi sasaran tarif impor oleh Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump.
"Presiden Donald Trump dalam hal ini memang mengincar negara-negara yang memiliki surplus terhadap Amerika atau Amerika defisit terhadap negara tersebut," kata Sri Mulyani dalam konferensi Pers APN Kita Maret 2025, di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (13/3/2025).
Kebijakan ini merupakan bagian dari langkah proteksionis yang diambil AS terhadap negara-negara yang memiliki surplus perdagangan terhadap mereka, yang berarti AS mengalami defisit perdagangan dengan negara-negara tersebut.
"20 negara yang mencatatkan surplus terhadap Amerika artinya Amerika defisit terhadap negara ini, Indonesia ada di nomor 15 kalau kita lihat Tiongkok, Meksiko, Kanada," ujarnya.
Menkeu menyebut, langkah ini menandai pergeseran besar dalam sistem perdagangan global. Perdagangan yang sebelumnya berjalan berdasarkan aturan internasional kini lebih sering ditentukan secara sepihak oleh negara-negara dengan kekuatan ekonomi besar, terutama AS.
"Jadi ini yang disebut the war game adalah sekarang di bidang ekonomi. Trade yang tadinya berdasarkan rule based sekarang bisa secara sepihak diubah," ujar Menkeu.
Perubahan Lanskap Perdagangan Global
Menkeu mengatakan, perang dagang tidak hanya terjadi antara AS dan Tiongkok, tetapi juga merambah ke berbagai negara lain yang memiliki hubungan dagang signifikan dengan AS.
Dalam daftar 20 negara dengan surplus perdagangan terhadap AS, Indonesia berada di posisi ke-15. Negara-negara lain yang memiliki surplus besar, seperti Tiongkok, Meksiko, Kanada, Vietnam, serta beberapa negara di Uni Eropa, telah mulai menghadapi kebijakan tarif yang lebih ketat dari AS.
"Indonesia ada di dalam rangkaing 15 dan ini akan berpotensi menciptakan biaya dari supply chain sektor manufaktur dan terutama untuk sektor digital yang akan meningkat," ungkap Menkeu.