Liputan6.com, Jakarta - Lebih dari satu dekade lalu, Motorola mencoba langkah ambisius: merakit ponsel pintar di Amerika Serikat (AS). Dengan slogan "Buatan AS", perusahaan berupaya menyaingi dominasi Apple dan Samsung di pasar ponsel pintar.
Dennis Woodside, CEO Motorola saat itu dan kini menjabat CEO Freshworks, mengatakan ada pasar yang tertarik pada produk dalam negeri.
"Ada segmen pelanggan yang berkata, ‘Hei, jika Anda memproduksi produk di Amerika Serikat, saya lebih cenderung mempertimbangkannya," ujarnya dikutip dari CNN, Rabu (6/8/2025).
Namun, eksperimen tersebut tidak bertahan lama. Pada 2014, pabrik Motorola di Fort Worth, Texas, ditutup, dan perakitan Moto X pun dipindahkan ke luar negeri.
Kisah Moto X: Ambisi dan Realita
Moto X diluncurkan pada 2013, di bawah kepemilikan Google. Motorola berharap bisa menarik konsumen dengan menawarkan kustomisasi ponsel melalui situs resminya, seperti warna tombol dan panel belakang. Kedekatan pabrik dengan pasar AS memungkinkan fleksibilitas ini.
Meski dirakit di Texas, komponen utama seperti layar dan baterai tetap diimpor dari Asia. Akibatnya, biaya produksi tinggi, dan hanya 500.000 unit yang terjual pada kuartal ketiga 2013. Tahun berikutnya, Motorola menutup fasilitas tersebut.
"Tentu saja ada biaya yang lebih tinggi, yang merupakan tantangan," ujar Woodside. "Dan Anda berurusan dengan rantai pasokan yang sangat terfragmentasi."
Tantangan Tenaga Kerja
Salah satu hambatan utama adalah kurangnya tenaga kerja terampil. Pekerja Amerika tidak terbiasa merakit ratusan komponen kecil seperti kamera dan chip ponsel. Banyak dari mereka lebih memilih pekerjaan di sektor lain seperti ritel atau makanan cepat saji.
"Mungkin ada beberapa ratus komponen, dan ukurannya sangat kecil," kata Woodside. "Dan yang tidak kami sadari adalah kebanyakan orang sama sekali tidak terbiasa dengan pekerjaan semacam itu di AS."
Masalah ini masih relevan hari ini. Sektor manufaktur AS kehilangan sekitar 11.000 pekerjaan dari Juni ke Juli 2025, menurut Biro Statistik Tenaga Kerja. Survei dari Cato Institute pada Agustus 2024 menunjukkan mayoritas warga AS tidak tertarik bekerja di pabrik.
Tarif Baru dan Tekanan pada Produsen
Kini, di bawah tekanan kebijakan tarif Presiden Donald Trump, isu ini kembali mencuat. Trump mendesak Apple dan Samsung untuk memproduksi perangkat mereka di AS atau menghadapi tarif tinggi. Impor dari Tiongkok akan dikenai tarif tambahan pada 12 Agustus, sementara India menghadapi tarif 25% mulai 7 Agustus.
Woodside memperingatkan bahwa produksi ponsel di AS tidak hanya soal kebijakan pemerintah. "Anda harus memiliki proposisi nilai yang sangat kuat bagi karyawan," katanya. "Gunakan otomatisasi secara cerdas, dan pastikan Anda bisa bersaing dari segi harga."
Pembelajaran dari Tiongkok dan India
Sebaliknya, Tiongkok memiliki keunggulan dengan tenaga kerja terampil yang melimpah. Pada 2023, sekitar 123 juta orang bekerja di sektor manufaktur, menurut sensus ekonomi terbaru negara itu. Foxconn, mitra Apple, mampu merakit hingga 350 iPhone per menit di Zhengzhou.
India juga mulai menyaingi Tiongkok. Saat ini, India menjadi eksportir ponsel pintar terbesar ke Amerika Serikat, seiring langkah Apple mengurangi ketergantungan pada Tiongkok.
CEO Apple, Tim Cook, pernah mengatakan pada 2017 bahwa Tiongkok menawarkan kombinasi keterampilan ahli, robotika canggih, dan ilmu komputer yang membuatnya unggul di bidang manufaktur.
Sementara itu, sistem pelatihan dan pendidikan vokasi di AS dinilai belum merata dan tidak mampu menciptakan tenaga kerja terampil dalam skala besar. Ini membuat produksi ponsel pintar secara lokal tetap menjadi tantangan besar.
Pengalaman Motorola menjadi pelajaran penting: produksi ponsel di AS bukan sekadar soal kebijakan atau keinginan nasionalis. Dibutuhkan infrastruktur, keterampilan, dan ekosistem yang matang agar mimpi itu benar-benar bisa terwujud.