Liputan6.com, Jakarta - Laporan FAO menunjukkan Indonesia akan menjadi produsen beras ke-4 terbesar di dunia pada 2025/2026. Produksi beras mencapai 35,6 juta ton beras giling setara, naik 4,5% dibandingkan tahun sebelumnya.
Namun, di tengah proyeksi produksi yang tinggi dan stok melimpah, Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov menyoroti harga beras yang terus meningkat.
Pada Juni 2025, stok beras nasional tercatat melimpah, mencapai 4,2 juta ton, jumlah yang mencerminkan kondisi pasokan nasional yang sangat mencukupi. Namun, harga beras tetap mengalami kenaikan di hampir semua level distribusi.
Data distribusi menunjukkan kenaikan harga tidak hanya terjadi di hulu (penggilingan dan grosir), tetapi juga berdampak langsung pada konsumen akhir.
“Artinya memang masih ada persoalan di tataniaga beras di nasional dan bahkan kalau kita bandingkan dengan beberapa negara, maksudnya (harga beras) lebih mahal dibandingkan negara di kawasan Asean, dan padahal kondisinya kita setengah menghadapi surplus produksi," ujar Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance, Abra Talattov, dalam diskusi publik pada Selasa, (29/7/2025).
Faktor Pendorong
Harga Gabah Kering Panen (GKP) mengalami kenaikan pada Juni 2025 yaitu mencapai Rp6.733 per kilogram, atau naik sekitar 3,6 persen dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Namun, kenaikan ini tidak sepenuhnya menjelaskan dari lonjakan harga beras yang terjadi di tingkat konsumen.
Pemerintah kerap menyampaikan penyebab utama kenaikan harga beras adalah naiknya harga Gabah Kering Panen (GKP), yang pada akhir Juni mencapai Rp6.733 per kilogram atau 3,6 persen lebih tinggi di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Rp6500 per kilogram.
Padahal, berdasarkan laporan dari INDEF (29/7), jika ditelusuri lebih dalam, kenaikan harga beras tidak bergerak secara linier dengan kenaikan harga GKP. Artinya, lonjakan harga di pasar bukan hanya disebabkan oleh naiknya harga gabah di petani.
Fakta yang lebih mencolok adalah terjadinya kenaikan harga yang jauh lebih tinggi di wilayah konsumen, terutama di daerah timur Indonesia seperti Zona 3 (Maluku dan Papua). Di wilayah ini, harga beras eceran bahkan tercatat melampaui HET hingga 18,89 persen.
Kondisi ini mengindikasikan ada distorsi dalam sistem distribusi, di mana proses penyaluran dari produsen ke konsumen mengalami hambatan atau ketidakseimbangan. Permasalahan utama bukanlah kelangkaan fisik beras, melainkan kegagalan dalam menahan ekspetasi harga dan mendistribusikan stok secara efisien. Sehingga meskipun harga gabah hanya mengalami kenaikan ringan, harga beras di tingkat akhir justru melonjak tinggi.
Dengan demikian, masalah utama bukan pada biaya produksi di tingkat petani, melainkan pada efisiensi dan kecepatan distribusi, terutama di wilayah yang secara geografis memiliki tantangan logistik yang lebih besar.
Apakah Adanya Kopdes Distribusi Beras?
Salah satu dari manfaat diadakannya Koperasi Desa Merah Putih yaitu untuk menekan harga barang di konsumen, menekan pergerakan tengkulak, dan memperpendek rantai pasok. Tujuannya agar masyarakat dapat menikmati harga barang dengan lebih terjangkau dan mudah.
Namun, berdasarkan laporan INDEF menyebutkan, 70 persen jenis koperasi didominasi sektor keuangan, dan 30 persen sisanya di sektor-sektor seperti, pertanian, perdagangan, dan perikanan, yang sebetulnya memiliki peran penting dalam ketahanan pangan di desa.
Dengan adanya Koperasi Desa, proses tataniaga diharapkan tidak lagi didominasi oleh perantara yang selama ini menyebabkan harga melonjak ke masyarakat. Koperasi dapat berperan untuk memperpendek rantai pasok, sehingga alur distribusi menjadi lebih efisien dan adil.
“Nah oleh karena itu memang pemerintah mempertimbangkan untuk mengurai persoalan tataniaga ini dengan melibatkan kooperasi ya untuk bisa membantu menstabilisasi harga beras di level masing-masing desa,” ujar Abra Talattov.
Namun, Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance, Abra Talattov mengingatkan agar pemerintah juga perlu mewaspadai potensi adanya intervensi dari kelompok elit (elit capture) dalam proses rantai distribusi dapat berjalan dengan baik.
“Kata kuncinya persoalan apakah nanti ada potensi terjadinya Elit Capture untuk bisa memastikan proses distribusi beras disamping level desa itu juga efisien. Jadi, artinya juga tetap perlu ada proses pengawasan dari pemerintah juga supaya harga baik harga penyerapan gabah di petani itu bisa sesuai dengan yang ditetapkan dan juga harga jual itu sesuai dengan HET,” ujarnya.