Liputan6.com, Jakarta Barcelona mengakhiri musim Liga Champions dengan kepala tegak meski langkah mereka dihentikan Inter Milan di semifinal. Perhatian kini beralih ke Paris Saint-Germain (PSG) yang sukses menjuarai kompetisi lewat kemenangan telak 5-0 atas Inter di final. Itu pencapaian yang tak hanya mengukir sejarah, tetapi juga membuka ruang refleksi bagi Blaugrana.
Pertanyaan pun muncul: apa yang bisa dipelajari Barcelona dari PSG dan Luis Enrique? Sama-sama masuk ke musim ini dengan keraguan publik, kedua klub justru membungkam kritik dengan filosofi menyerang yang penuh keberanian. Namun, di antara kesamaan, ada perbedaan yang patut dianalisis.
Luis Enrique dan Hansi Flick layak mendapat pujian atas cara mereka membangun tim dari kondisi yang tak ideal. Kini, pelajaran dari PSG bisa menjadi panduan bagi Barcelona untuk menapaki jalur menuju kejayaan Eropa musim depan.
Membangun dari Keterbatasan
Musim ini, PSG kehilangan Kylian Mbappe, sementara Barcelona memulai era baru bersama Flick setelah musim panas yang relatif sepi. Keduanya diprediksi tak akan melangkah jauh. Namun, kenyataannya, kedua pelatih berhasil menyulap keraguan menjadi kekuatan.
Luis Enrique mempertahankan filosofi menyerang meski komposisi skuadnya berubah drastis. Flick, di sisi lain, menanamkan sistem baru dengan formasi 4-2-3-1 yang memberikan fleksibilitas bagi para pemain muda Barcelona. Keduanya menunjukkan bahwa kualitas pelatih bisa melampaui kekuatan nama besar dalam skuad.
Yang membedakan keduanya adalah hasil akhir. PSG menjadi juara, Barcelona hanya semifinalis. Akan tetapi, proses yang dijalani menunjukkan dua pendekatan yang berbeda dalam merespons tantangan.
Filosofi Serupa, Eksekusi Berbeda
Baik PSG maupun Barcelona sama-sama menolak pendekatan defensif. Mereka bermain terbuka, dengan tujuan mencetak lebih banyak gol daripada kebobolan. Namun, secara struktural, pendekatan mereka punya perbedaan yang krusial.
PSG bermain dengan garis pertahanan tinggi, tapi tetap menjaga struktur saat transisi. Mereka menerapkan pressing yang lebih konsisten sepanjang musim. Barcelona, meski agresif di awal, perlahan kehilangan intensitas pressing, membuat lini belakang mereka lebih terekspos.
Perbedaan pendekatan ini menjadi penentu di babak gugur. PSG menghadapi rintangan berat melawan Brest, Liverpool, Aston Villa, dan Arsenal, tetapi tetap solid. Sementara itu, Barcelona tergelincir saat menghadapi Inter, sebagian karena kelelahan dan kurangnya alternatif di lini belakang.
Dalam dan Luasnya Kualitas
Satu hal yang jelas dari keberhasilan PSG adalah kedalaman skuad. Di lini belakang, pasangan Achraf Hakimi dan Nuno Mendes memberi kontribusi dua arah yang luar biasa. Barcelona punya Kounde dan Balde, tapi saat cedera datang, tak ada pelapis setara.
Di lini tengah, PSG tampil dominan dengan trio Joao Neves, Vitinha, dan Fabian Ruiz. Mereka menguasai bola dan ruang dengan cerdas. Barcelona, meski memiliki Pedri sebagai otak permainan, belum memiliki keseimbangan yang sama. Flick memilih Olmo untuk peran nomor 10, membuat tim lebih menyerang tapi rentan di tengah.
Apakah solusi Barcelona adalah menambah satu gelandang kreatif? Atau memperkuat struktur pressing? Ini pertanyaan besar yang harus dijawab menjelang musim depan.
Ketajaman di Depan dan Pentingnya Pelapis
Perubahan posisi Ousmane Dembele sebagai penyerang tengah menjadi titik balik bagi PSG. Dia menggantikan peran target man konvensional dan membuat serangan lebih dinamis. Kombinasinya dengan Kvaratskhelia dan Doue menjadikan PSG mesin gol.
Barcelona, di sisi lain, masih mengandalkan Lewandowski yang memasuki musim terakhirnya. Bersama Yamal dan Raphinha, trisula ini memiliki kualitas, tapi minim pelapis setara. Di saat PSG bisa memasukkan Barcola, Ramos, Lee Kang-in, hingga Seeny Mayulu, Barcelona kehabisan opsi saat rotasi dibutuhkan.
Ini menjadi pelajaran penting: juara Liga Champions tak hanya butuh 11 pemain hebat, tapi juga bangku cadangan yang bisa mengubah permainan. Dalam hal ini, PSG unggul jauh.
Dua Jalan Menuju Masa Depan
Barcelona dan PSG tak hanya mewakili dua kota besar Eropa, tapi juga dua pendekatan membangun tim: satu dengan pembinaan dan struktur, satu lagi dengan kedalaman dan variasi. Flick dan Enrique bukan hanya pelatih hebat, tapi juga arsitek visi jangka panjang.
Meski gagal bertemu di final, dua tim ini tampaknya ditakdirkan bertemu lagi. Usia muda pemain-pemain kunci mereka menjanjikan era baru rivalitas di Eropa. Jika itu terjadi, publik dunia akan disuguhkan duel taktik yang menarik dan sepak bola menyerang yang murni.
Barcelona boleh kalah musim ini. Namun, jika mereka belajar dari PSG, bukan tak mungkin giliran mereka mengangkat trofi musim depan. Yang terpenting, mereka tetap setia pada identitas permainan menyerang yang telah menjadi jiwa klub sejak dahulu kala.
Sumber: Barca Blaugranes