Liputan6.com, Jakarta - Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menyatakan bahwa dibutuhkan anggaran sekitar Rp 50 miliar per kilometer (km) untuk menghidupkan kembali jalur rel yang sudah lama tidak aktif di Jawa Barat. Sayangnya, meskipun rencana ini bukan hal baru, realisasinya kerap terkendala keterbatasan anggaran.
"Per km (dibutuhkan) Rp 50 miliar," kata Djoko kepada Liputan6.com, Rabu (23/4/2025).
Adapun Gubernur Jawa Barat Dede Mulyadi menyuarakan niat untuk mengaktifkan seluruh jaringan kereta api di wilayahnya, melanjutkan wacana yang pernah diusung pendahulunya, Ridwan Kamil.
Namun, karena minimnya dukungan dana, sejauh ini hanya satu jalur yang berhasil diaktifkan kembali, yaitu lintas Cibatu – Garut sepanjang 19,3 kilometer, yang dananya ditanggung oleh PT Kereta Api Indonesia.
"Rencana reaktivasi sejumlah jalur rel di Jawa Barat bukan hal baru. Namun tidak berjalan maksimal, lantaran tidak didukung anggaran yang mencukupi," ujarnya.
Djoko menegaskan, menghidupkan kembali jalur kereta api bukan sekadar semangat dan niat baik. Diperlukan tekad yang kuat serta ketersediaan dana yang memadai.
"Mengaktifkan kembali jalur rel di Jawa Barat, bukan sekedar semangat, namun perlu tekad yang kuat dan anggaran yang cukup. Oleh sebab itu, perlu dukungan anggaran yang pasti," katanya.
APabila hanya mengandalkan dana dari APBD, jelas tidak akan mencukupi, mengingat masih banyak kebutuhan infrastruktur lain yang harus dituntaskan di Jawa Barat, seperti pembangunan dan perbaikan jalan ke pelosok daerah.
"Jika menggunakan APBD, pasti tidak mencukupi. Provinsi Jawa Barat masih perlu membangun jaringan jalan di daerahnya yang perlu segera dituntaskan," jelasnya.
Tak Bisa Andalkan Investor Swasta
Adapun kata Djoko, mengandalkan investor swasta pun bukan solusi yang mudah. Investasi rel kereta tergolong mahal dan membutuhkan dukungan operasional dari pemerintah. Tanpa adanya jaminan operasional, investor enggan terlibat.
"Tidak bisa mengandalkan swasta untuk membangun jalan rel. Selain investasi mahal, juga pemerintah harus memberikan dukungan operasional nantinya. Tanpa adanya dukungan operasional, pihak swasta tidak tertarik," ujarnya.
Berbeda dengan pembangunan jalan tol, yang cukup membangun prasarana dan langsung bisa digunakan kendaraan, reaktivasi kereta memerlukan penyediaan prasarana dan sarana secara bersamaan.
"Lain halnya, membangun jaringan jalan tol (itupun didukung regulasi setiap dua tahun tarif akan naik), hanya cukup bangun prasarana, nanti sarana akan otomatis menggunakannya. Lain halnya dengan moda KA, selain membangun prasarana juga harus menyiapkan sarananya juga," katanya.
Tantangan Reaktivasi rel kereta
Tantangan lain yang dihadapi adalah kondisi jalur rel dan stasiun yang kini sudah berubah fungsi, banyak di antaranya telah menjadi permukiman warga.
Untuk itu, dibutuhkan sinergi antar kementerian, seperti Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman, untuk menyediakan relokasi yang layak bagi warga terdampak. Relokasi ini idealnya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka sebelumnya, serta harus memiliki akses ke layanan transportasi umum agar mobilitas ke pusat-pusat ekonomi tetap terjaga.
"Melibatkan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman untuk pengadaan permukiman baru bagi warga yuang terkena dampak reaktivasi itu. Permukiman sebaiknya tidak jauh dengan tempat tinggal sekarang. Kalaupun jauh, masih disediakan akses layanan angkutan umum. Agar warga yang menghuni mudah mobilitas ke pusat ekonomi (pasar)," uajrnya.
Di sisil lain, Djoko juga menyoroti efisiensi anggaran di tingkat pusat, termasuk pemangkasan anggaran Kementerian Perhubungan lebih dari 50 persen. Hal itu justru memperkecil peluang realisasi proyek ini dalam waktu dekat.
Namun demikian, harapan tetap ada. Reaktivasi rel kereta di Jawa Barat bisa menjadi solusi transportasi jangka panjang yang berkelanjutan, jika benar-benar mendapat perhatian serius dari semua pihak.
"Semoga reaktivasi jalan rel di Jawa Barat terwujud, tidak sekedar omon-omon belaka," pungkasnya.