Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pendapatan negara di tiga bulan pertama 2025 mencapai Rp 516,1 triliun atau 17,2% dari pagu Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2025. Sedangkan belanja pemerintah hingga Maret 2025 mencapai Rp 620 triliun atau 17,3 persen dari pagu APBN 2025.
Dengan begitu, APBN hingga 31 Maret 2025 mencapai Rp 104,2 triliun atau setara dengan 0,43 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Meskipun defisit mencapai ratusan triliun, Sri Mulyani meminta masyarakat untuk tidak khawatir. Menurutnya, posisi defisit tersebut masih sejalan dengan rencana awal pengelolaan fiskal yang telah dirancang pemerintah sejak awal tahun.
"Ini bukan hal yang menimbulkan kekhawatiran, karena masih dalam desain APBN awal," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Jakarta, Rabu (30/4/2025).
Meski mengalami defisit, kinerja APBN hingga akhir Maret 2025 masih menunjukkan performa yang cukup baik. Hal ini tercermin dari pendapatan negara yang berhasil terkumpul sebesar Rp 516,1 triliun, atau setara 17,2 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN 2025.
Pendapatan negara tersebut bersumber dari berbagai komponen, antara lain penerimaan perpajakan yang mencapai Rp400,1 triliun.
Jumlah ini terdiri dari penerimaan pajak sebesar Rp 322,6 triliun dan penerimaan dari kepabeanan dan cukai sebesar Rp77,5 triliun. Selain itu, negara juga memperoleh Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp115,9 triliun.
Sementara itu, realisasi belanja negara tercatat sebesar Rp 620 triliun, atau 17,1 persen dari pagu belanja yang telah ditetapkan.
Belanja tersebut meliputi belanja pemerintah pusat senilai Rp413,2 triliun, yang terbagi atas belanja kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp196,1 triliun dan belanja non K/L sebesar Rp217,1 triliun. Di sisi lain, realisasi Transfer ke Daerah (TKD) tercatat mencapai Rp207,1 triliun.
Sri Mulyani: Amerika Kini Merasa Terzolimi, Indonesia Harus Waspada
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan dinamika menarik dalam pertemuan musim semi (Spring Meeting) di Washington, D.C Amerika Serikat, baru-baru ini.
Dalam forum tersebut, pernyataan dari Amerika Serikat menjadi sorotan utama, yakni bahwa negara adidaya itu merasa telah diperlakukan tidak adil oleh sistem global yang selama ini justru kerap dikritik oleh negara-negara berkembang.
"Jadi, di Washington kemarin headline dan topik paling menonjol adalah statement Amerika bahwa mereka merasa dizolimi oleh sistem global," kata Menkeu dalam konferensi pers APBN KiTa, Rabu (30/4/2025).
Padahal, menurut Sri Mulyani, selama ini yang banyak merasa dizolimi oleh globalisasi adalah negara-negara berkembang. Tapi sekarang, justru Amerika yang menyatakan bahwa mereka 'diperlakukan tidak adil'. Ini tentu menarik dan menunjukkan bahwa sistem global sedang mengalami guncangan besar.
"Karena ternyata yang terzolimi tidak hanya negara berkembang tapi negara paling kuat dan paling besar ekonominya di dunia merasa bahwa the global system is unfair," uajrnya.
Menurut Sri Mulyani, pernyataan ini menjadi kejutan karena datang dari negara dengan ekonomi terbesar di dunia, yang selama ini dianggap sebagai pihak yang paling diuntungkan dari sistem global yang ada.
Adapun ketidakadilan dan ketidakseimbangan menjadi sorotan utama dalam forum tersebut. Sorotan kedua adalah mengenai ketidakseimbangan (imbalances) dalam sistem perdagangan dan ekonomi dunia.
AS Nilai Sistem Perdagangan Internasional Ciptakan Ketidakseimbangan Struktural
Sri Mulyani menjelaskan bahwa Amerika Serikat menilai sistem perdagangan internasional telah menciptakan ketidakseimbangan struktural yang merugikan. Sebagai respons, negara itu mengambil tindakan korektif melalui kebijakan tarif resiprokal.
"Yang meng create imbalances. Ketidakseimbangan itu menjadi headline kedua. Unfair nomer satu, imbalances nomer dua. Dan oleh karena itu Amerika melakukan corrective action melalui retaliasi tarif, reciprocal tarif istilahnya. Reciprocal tarif yang kemudian kalau negara lain bales namanya retaliasi," ujarnya.
Dalam praktiknya, satu-satunya negara yang melakukan balasan secara terbuka adalah Tiongkok (RRT), sementara negara-negara lain memilih pendekatan diplomatik dan negosiasi.
"Kebetulan satu-satunya negara yang bales adalah RRT, yang lainnyaengagement negosiasi," ujarnya.
Indonesia Harus Waspada
Lebih jauh, Sri Mulyani menekankan bahwa pernyataan dan langkah Amerika ini menandai adanya perubahan besar dalam tatanan dunia (global order). Ia menyebut bahwa dunia kini berada dalam fase guncangan geopolitik dan geoekonomi yang memerlukan kewaspadaan dari semua negara, termasuk Indonesia.
"Di dalam konteks ini saya ingin menyampaikan di luar headline statement yang harus kita waspadai adalah the global order berubah atau mengalami guncangan sangat besar. Global order, order dunia. Kalau kita lihat ini berarti kita sebagai negara besar di ASEAN dan di G20 Indonesia juga harus waspada dan repositioning," ujarnya.
Sri Mulyani menilai bahwa tatanan dunia yang sebelumnya berbasis multilateralisme mulai tergeser ke arah unilateral dan bilateral. Mekanisme negosiasi kelompok (group negotiation) pun dinilai belum efektif karena belum disepakati secara luas.
"Kita harus memahami dan mengantisipasi perubahan ini dan mewaspadai untuk menjaga kepentingan kita. Melindungi rakyat kita, melindungi dunia usaha kita," pungkasnya.