Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami tekanan sepanjang tahun ini. Bahkan rupiah sempat menyentuh level terendah sepanjang sejarah. Rupiah terus dekati level 17.00 per dolar AS.
Pada hari ini Senin (21/4/2025), nilai tukar rupiah pada pembukaan perdagangan hari Senin pagi di Jakarta menguat sebesar 46 poin atau 0,27 persen menjadi Rp 16.831 per dolar AS dari sebelumnya Rp 16.877 per dolar AS.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University, Deniey Adi Purwanto menjelaskan pelemahan rupiah dipengaruh oleh dua sentimen hal yaitu domestik dan ekstenal.
Faktor Domestik, salah satu faktor utama pelemahan nilai rupiah terhadap dolar AS saat ini adalah kekhawatiran investor terhadap kebijakan fiskal pemerintah.
“Rencana pemerintah untuk meluncurkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menelan anggaran besar, memicu kekhawatiran terkait keberlanjutan fiskal Indonesia,” ucapnya dalam keterangan tertulis, Senin (21/4/2025).
Selain itu, pernyataan Presiden Prabowo yang dianggap kontroversial mengenai pasar saham juga menciptakan ketidakpastian di pasar modal. Akibatnya, investor cenderung menarik dana mereka, yang semakin menekan nilai tukar rupiah.
“Ketergantungan Indonesia pada impor barang dan jasa juga menjadi faktor pelemahan rupiah. Kondisi ini menyebabkan defisit transaksi berjalan, yang meningkatkan permintaan terhadap mata uang asing untuk membiayai impor,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menuturkan, Indonesia masih mengandalkan aliran modal asing untuk menutupi defisit fiskal dan transaksi berjalan. Ketika terjadi gejolak ekonomi global, investor asing cenderung menarik dana mereka, yang kemudian memperparah tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Faktor Eksternal
Sedangkan untuk faktor ekstenal, tarif AS dan Penguatan DolarDr Deniey mengatakan bahwa kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Amerika Serikat turut memengaruhi pelemahan nilai tukar rupiah. Pemerintah AS, di bawah Presiden Donald Trump, memberlakukan tarif tinggi terhadap barang-barang impor, dari berbagai negara ke Amerika Serikat, termasuk China, Indonesia, dan sejumlah negara lainnya. Langkah ini memicu ketegangan perdagangan global dan menekan ekspor Indonesia.
"Kenaikan imbal hasil obligasi AS juga menjadi faktor eksternal yang signifikan mendorong kenaikan permintaan dolar AS,” ungkapnya. Imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun yang meningkat menarik aliran modal keluar dari negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Pada gilirannya mendorong pelemahan nilai tukar rupiah," imbuhnya. Ia menambahkan juga, kenaikan suku bunga acuan oleh The Federal Reserve (The Fed) juga menyebabkan penguatan permintaan dolar AS.
Dampak Pelemahan Rupiah
Menurut Pakar Ekonomi Moneter IPB University ini, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS membawa dampak positif dan negatif bagi perekonomian Indonesia.
Namun, dampak negatif cenderung lebih dominan, terutama jika depresiasi nilai tukar rupiah terjadi secara terus-menerus atau dalam jangka waktu yang cukup lama.
Dampak negatifnya antara lain kenaikan harga barang impor, tekanan terhadap inflasi, peningkatan beban utang luar negeri, keluarnya modal asing (capital flight), dan penurunan kepercayaan pasar.
“Kenaikan harga barang impor dapat memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Beban utang luar negeri Indonesia baik pemerintah maupun swasta dalam dolar AS juga akan meningkat sehingga akan berdampak pula pada keberlangsungan anggaran pemerintah, dan keuangan sektor privat,” tegasnya.
Namun, kata dia, pelemahan nilai tukar rupiah juga dapat mendorong peningkatan ekspor karena barang-barang Indonesia menjadi lebih murah di pasar internasional. Selain itu, devisa dari pekerja migran dan pariwisata juga berpotensi meningkat.
“Meski demikian, dampak positif ini tidak akan maksimal jika kapasitas produksi industri domestik terbatas, ketergantungan pada bahan baku impor tinggi, dan terjadi ketidakpastian ekonomi,” tandasnya.
Upaya Stabilisasi Rupiah
Kebijakan Jangka Pendek dan PanjangDosen Ilmu Ekonomi IPB University ini menyampaikan, pemerintah Indonesia dan Bank Indonesia perlu mengambil langkah-langkah untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.
“Kebijakan jangka pendek meliputi intervensi di pasar valuta asing, kebijakan suku bunga (menaikkan BI Rate), pengendalian inflasi, penguatan cadangan devisa, dan pembatasan impor nonproduktif,” ungkapnya.
Sementara itu, kebijakan jangka menengah dan panjang fokus pada penguatan fundamental ekonomi, di antaranya meningkatkan daya saing ekspor, mendorong investasi domestik dan asing, memperkuat ketahanan energi dan pangan, mendorong pariwisata dan remitansi, serta meningkatkan literasi dan inklusi keuangan.
“Bauran kebijakan tidak saja fiskal dan moneter tetapi juga kebijakan terkait devisa dan industri penting untuk memperkuat fundamental nilai tukar rupiah dalam jangka menengah dan jangka panjang,” pungkas Dr Deniey.