Liputan6.com, Jakarta - Ricuhnya aksi di DPR tak hanya meninggalkan jejak politik, tetapi juga langsung menghantam sendi-sendi ekonomi masyarakat. Mobilitas warga yang terbatas karena imbauan work from home (WFH), sekolah daring, hingga tutupnya sejumlah toko dan pusat perbelanjaan membuat kelompok pekerja harian jadi pihak paling terpukul.
Perencana keuangan sekaligus Founder OneShildt, Mohamad Andoko, menyebut dampak finansial paling cepat terasa pada masyarakat yang menggantungkan hidup dari pendapatan harian.
“Mereka yang kerjanya menerima income harian, seperti ojek online atau pedagang kaki lima, itu yang paling cepat kena dampaknya. Kalau mobilitas turun, otomatis penumpang sepi, pembeli berkurang, dan pemasukan harian mereka langsung anjlok,” ujar Andoko dalam sebuah wawancara dengan Liputan6.com, Senin (1/9/2025).
Ia kembali menegaskan dampak demonstrasi ricuh bisa menciptakan efek domino di sektor ekonomi. Mulai dari terganggunya distribusi barang, panic buying, hingga kenaikan harga kebutuhan pokok yang makin menekan daya beli.
“Masyarakat miskin jelas terhimpit karena penghasilan tetap atau bahkan turun, sementara biaya hidup naik. Tapi jangan salah, kelas menengah pun tidak kebal. Begitu harga barang naik, daya beli mereka juga tergerus,” jelas Andoko.
Dampaknya Terhadap UMKM dan Kelas Menengah
Tak berhenti di situ, Andoko menambahkan kelompok UMKM juga ikut terhimpit karena turunnya permintaan. Belajar dari pengalaman pandemi, pembatasan aktivitas membuat konsumen beralih belanja ke rumah, bahkan layanan pesan antar pun terkendala karena pengemudi enggan mengambil risiko ke pusat kota.
“UMKM tetap harus bayar sewa, listrik, dan beli bahan baku, sementara penjualannya turun drastis. Fixed cost tetap jalan, tapi omzet merosot tajam,” jelasnya.
Ia mencontohkan kondisi di lapangan ketika transportasi online enggan melayani perjalanan ke pusat kota saat demonstrasi berlangsung. Situasi ini, kata dia, membuat logistik tersendat dan distribusi barang menjadi terhambat.
“Truk-truk pembawa makanan tak bisa masuk ke pasar, pedagang kesulitan dapat pasokan. Akhirnya harga bahan pokok melonjak. Pasar tradisional bahkan ada yang tutup karena khawatir ricuh. Inilah yang membuat harga makin tinggi,” jelasnya.
IHSG Anjlok, Rupiah Melemah
Bagi kelas menengah, tekanan justru lebih kompleks. Mereka yang memiliki investasi di pasar modal langsung terdampak oleh anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) serta pelemahan rupiah terhadap dolar AS.
“Biasanya kalau indeks saham turun, rupiah otomatis melemah, dolar menguat. Bagi kalangan menengah yang punya investasi atau kebutuhan dolar, beban finansial jadi berat. Dampaknya memang sedikit lebih lambat dibanding pekerja harian, tapi tetap nyata,” tutur Andoko.
Kondisi ini, menurutnya, membuktikan bahwa krisis akibat instabilitas politik tidak mengenal kelas sosial. Dari pekerja harian hingga masyarakat menengah, semuanya bisa terpukul oleh kenaikan harga.
“Kalau pendapatan tetap, tapi biaya belanja melonjak, siapa pun pasti terhimpit. Bukan hanya orang miskin, kelas menengah juga rapuh kalau tidak menyiapkan cadangan keuangan,” tegasnya.
Pentingnya Dana Darurat
Dalam situasi penuh ketidakpastian, Andoko menekankan pentingnya dana darurat sebagai bantalan menghadapi krisis. Ia menyarankan masyarakat menyiapkan cadangan setidaknya 3–6 kali pengeluaran bulanan, agar masih bisa bertahan ketika kehilangan penghasilan atau menghadapi kebutuhan mendesak.
“Belajar dari Covid-19, banyak keluarga rapuh karena tidak punya cadangan keuangan. Dana darurat itu bisa jadi penyelamat, baik saat PHK, biaya kesehatan, atau ketika penghasilan tiba-tiba terhenti,” tegasnya.
Andoko menutup dengan pesan sederhana: kendalikan pengeluaran, bedakan kebutuhan dan keinginan, serta mulai sisihkan sebagian penghasilan untuk tabungan darurat. Dengan begitu, masyarakat tak lagi mudah goyah ketika badai krisis melanda.