Conor Tracey dan Auckland City: Dihajar Bayern Munchen 10 Gol, Korban Ekspansi FIFA?

6 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta Bayern Munchen baru saja mencetak sejarah kelam untuk Auckland City dengan kemenangan telak 10-0 di Piala Dunia Antarklub 2025. Kiper Conor Tracey, yang sehari-hari bekerja sebagai distributor obat hewan, harus memetik bola dari gawangnya tujuh kali sebelum jeda.

Turnamen yang diusung FIFA sebagai "The Best vs The Best" ini justru mempertontonkan kesenjangan ekstrem antara klub elite Eropa dengan wakil Oceania. Auckland City, klub semi-profesional dengan anggaran terbatas, harus merogoh kocek dua kali lipat dari pendapatan tahunan mereka hanya untuk berpartisipasi.

Di balik skor telak tersebut, tersimpan kisah inspiratif para pemain Auckland yang rela cuti tanpa bayaran dari pekerjaan utamanya. Lantas, apakah format baru ini benar-benar adil atau sekadar pemanis bagi dominasi klub Eropa?

Kisah Conor Tracey dan Auckland City yang Pantang Menyerah

Conor Tracey bukan kiper biasa. Di luar lapangan, pria 28 tahun ini bekerja sebagai distributor obat untuk klinik hewan di Selandia Baru. Untuk tampil di Piala Dunia Antarklub, ia harus mengambil cuti tanpa bayaran dari pekerjaannya.

Meski kebobolan 10 gol, performa Tracey sebenarnya cukup solid dengan tujuh penyelamatan. Sayang, satu blunder umpan ke Jamal Musiala untuk gol kesembilan Bayern menjadi simbol kesenjangan yang terlalu lebar. "Ini pengalaman tak terlupakan," ujar Tracey setelah laga.

Auckland City sendiri akan menerima 3,5 juta usd dari FIFA, dana yang akan digunakan untuk membangun lapangan all-weather bagi sekolah-sekolah lokal. Bagi mereka, kekalahan telak ini lebih baik daripada tidak berpartisipasi sama sekali.

Kontroversi Format The Best vs The Best

FIFA mengusung turnamen ini dengan slogan "The Best v The Best", sementara DAZN mempromosikannya sebagai "Uncontested" (tak tertandingi). Namun realita di lapangan justru menunjukkan kesenjangan yang mengkhawatirkan.

Opta mencatat Bayern Munchen berada di peringkat ke-4 dunia, sementara Auckland City tercecer di posisi 4.928. Miguel Angel Russo, pelatih Boca Juniors, dengan blak-blakan menyebut lawan Bayern sebagai "tim semi-profesional".

Pertanyaan besarnya: Apakah masalahnya terletak pada keikutsertaan Auckland, atau justru pada framing FIFA yang terlalu muluk? Sebab, ini adalah penampilan ke-13 Auckland di Piala Dunia Antarklub, dan mereka lolos secara sah sebagai juara Liga Champions Oceania.

Dilema Representasi vs Kualitas

Di satu sisi, kehadiran Auckland City memenuhi prinsip representasi global FIFA yang ingin melibatkan semua konfederasi. Namun, di sisi lain, laga seperti Bayern vs Auckland justru merusak citra turnamen yang ingin disetarakan dengan Liga Champions.

Fakta menarik: Auckland City bahkan bukan tim terkuat di Selandia Baru. Gelar itu diperebutkan oleh Auckland FC dan Wellington Phoenix yang bermain di liga Australia. Namun karena Australia kini bernaung di bawah AFC, jalan Auckland City ke turnamen dunia justru lebih terbuka.

Format alternatif seperti fase grup ala Liga Champions mungkin bisa memberi Auckland kesempatan lebih adil melawan tim setara. Tapi kalender yang sudah padat membuat opsi ini sulit diterapkan. Pada akhirnya, FIFA harus memilih antara idealisme representasi global atau kualitas kompetitif yang seimbang.

Masa Depan Turnamen: Inklusif atau Elitis?

Kekalahan telak 10-0 ini memantik perdebatan tentang masa depan Piala Dunia Antarklub. Apakah FIFA akan mengurangi kuota tim dari konfederasi kecil, atau justru memperbanyak slot untuk klub Eropa?

Jika mengikuti logika "the best of the best", maka 80% peserta seharusnya berasal dari Eropa. Tapi ini akan mengubah turnamen menjadi semacam European Super League versi FIFA. Sebaliknya, mempertahankan format inklusif berarti risiko melihat lebih banyak laga timpang seperti ini.

Seperti kata pepatah, "Hati-hati dengan apa yang kamu inginkan". Mungkin kekalahan 10-0 ini adalah harga yang harus dibayar untuk turnamen yang benar-benar global. Atau jangan-jangan, inilah kenyataan pahit sepakbola modern yang tak lagi bisa disangkal?

Read Entire Article
Bisnis | Football |