Liputan6.com, Jakarta - Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi CELIOS (Center of Economic and Law Studies), Nailul Huda, menilai gelombang demonstrasi yang berlangsung tiga hari terakhir di sejumlah kota besar, terutama Jabodetabek, memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian.
Sebab sektor jasa menjadi yang paling terpukul akibat lumpuhnya aktivitas masyarakat. Sektor jasa sendiri menyumbang sekitar 45 persen dari ekonomi nasional atau setara Rp 9.900 triliun per tahun.
"Kerugian yang dialami oleh ekonomi Indonesia (khususnya Jabodetabek) cukup besar. Sektor jasa turun cukup signifikan dalam dua-tiga hari terakhir. Sektor jasa ini berkontribusi sekitar 45 persen dari ekonomi nasional atau sekitar Rp 9.900 triliun per tahun," kata Huda kepada Liputan6.com, Senin (1/9/2025).
Menurut Huda, bila dalam tiga hari terakhir aktivitas jasa terganggu 10 persen saja, maka potensi kerugian bisa mencapai Rp 8 - 9 triliun secara makro.
Angka ini bukan sekadar hitungan kasar, melainkan gambaran nyata betapa besarnya kontribusi sektor jasa terhadap ekonomi Indonesia.
Ketergantungan ekonomi nasional terhadap perputaran konsumsi masyarakat membuat dampak demo terasa sangat cepat. Selain transportasi daring, sektor ritel, pusat perbelanjaan, hingga usaha kecil di sekitar titik aksi juga merasakan penurunan omzet drastis.
Prediksi Pertumbuhan Ekonomi
"Jika tiga hari dan yang terkena dampak 10 persen saja, maka kerugian bisa mencapai Rp 8 - 9 triliun secara ekonomi makro. Tentu ini adalah kerugian yang diakibatkan inkompetensi pemerintah dalam mengatasi demo dalam tiga hari terakhir," ujarnya.
Ekonomi Nasional Terancam Melambat
Huda mengatakan kerugian besar di sektor jasa diprediksi akan merembet ke sektor lain. Ia menilai, jika situasi tidak segera terkendali, maka pertumbuhan ekonomi nasional pada 2025 bisa melambat jauh dari proyeksi.
Sektor jasa yang melemah berpotensi menekan daya beli masyarakat serta menurunkan kontribusi pajak yang menjadi tulang punggung penerimaan negara. Selain itu, terganggunya sektor jasa akan memengaruhi arus distribusi barang.
"Ekonomi Indonesia akan lebih melambat ketika tidak ada investasi masuk, dunia usaha juga waswas dampak demo makin meluas. Investasi pasti akan berkurang, ketersediaan lapangan kerja akan terbatas," katanya.
Desakan Evaluasi Kebijakan Pemerintah
Melihat kerugian yang begitu besar, Huda menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pemerintah. Menurutnya, inkompetensi pemerintah dalam merespons gelombang demo justru memperbesar biaya sosial dan ekonomi yang harus ditanggung masyarakat.
Pemerintah dianggap terlalu fokus pada program-program besar yang tidak menyentuh kebutuhan rakyat kecil. Huda juga menekankan pentingnya transparansi data ekonomi dari pemerintah. Ia menuding adanya “pengaburan fakta” melalui klaim pertumbuhan ekonomi yang tidak sejalan dengan kondisi di lapangan.
"Maka Pemerintah wajib mengevaluasi kebijakan yang tidak tepat sasaran, termasuk program MBG dan Koperasi Merah Putih. Terakhir pemerintah memberikan keterangan dengan data yang valid terkait dengan perekonomian, tidak seperti yang dilakukan oleh BPS tempo hari," pungkasnya.
Gejolak Demo Tekan Pasar, BI Turun Tangan Jaga Stabilitas Rupiah
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) menegaskan komitmennya untuk terus menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dan kecukupan likuiditas di tengah dinamika pasar keuangan global maupun domestik.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas (DPMA) BI, Erwin Gunawan Hutapea, menyampaikan BI tetap hadir di pasar demi memastikan Rupiah bergerak sesuai nilai fundamentalnya.
"Bank Indonesia (BI) akan terus berada di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan kecukupan likuiditas Rupiah di tengah gejolak di dalam negeri," kata Erwin dalam keterangannya, Senin (1/9/2025).
Menurut Erwin, langkah stabilisasi dilakukan dengan memastikan mekanisme pasar berjalan sehat dan efisien. Sejalan dengan komitmen tersebut, BI memperkuat intervensi di pasar keuangan, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Instrumen yang digunakan antara lain intervensi non-deliverable forward (NDF) di pasar off-shore, serta intervensi di pasar domestik melalui transaksi spot, DNDF, hingga pembelian dan penjualan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
"Dalam kaitan ini, Bank Indonesia terus memperkuat langkah-langkah stabilisasi, termasuk intervensi NDF di pasar off-shore dan intervensi di pasar domestik melalui transaksi spot, DNDF, dan SBN di pasar sekunder," ujarnya.
Langkah Bank Indonesia
Langkah ini diambil untuk menjaga keseimbangan permintaan dan penawaran valas, sekaligus meredam gejolak berlebihan di pasar uang. BI menilai, kombinasi instrumen intervensi tersebut mampu menahan volatilitas Rupiah agar tetap sesuai nilai fundamentalnya.
Menjaga Kecukupan Likuiditas Rupiah
Selain intervensi, BI juga mengutamakan kecukupan likuiditas perbankan. Akses likuiditas terus dibuka melalui berbagai instrumen, di antaranya transaksi repo, fx swap, pembelian SBN di pasar sekunder, hingga fasilitas pinjaman atau pembiayaan (lending/financing facility).
Upaya ini ditujukan agar perbankan tetap memiliki ruang memadai untuk menjalankan fungsi intermediasi dan menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.
"Bank Indonesia juga menjaga kecukupan likuiditas Rupiah dengan membuka akses likuiditas kepada perbankan melalui transaksi repo, transaksi fx swap dan pembelian SBN di pasar sekunder, serta lending/financing facility," ujarnya.