Industri Fintech Banyak Hadapi Tantangan, Apa Saja?

2 weeks ago 6

Liputan6.com, Jakarta Industri fintech di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Salah satunya soal pemahaman payung hukum yang menaungi industri tersebut. Hal tersebut diungkapkan Ketua Bidang External Affairs and Advocacy Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sekaligus Direktur Easycash, Harza Sandityo.

"Ada banyak kesalahpahaman di masyarakat yang menganggap bahwa industri ini belum memiliki peraturan yang memadai. Padahal, OJK telah mengeluarkan banyak peraturan, termasuk salah satu diantaranya POJK 40 Tahun 2024, yang mengatur secara rinci aspek-aspek tata kelola yang baik atau good corporate governance (GCG)," kata dia, Sabtu (30/8/2025).

"Regulasi ini diperkuat oleh Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang secara resmi menjadikan pindar sebagai lembaga jasa keuangan," lanjut dia.

Lebih lanjut, Harza menjelaskan bahwa tantangan terbesar industri saat ini bukanlah ketiadaan aturan, melainkan kesenjangan literasi dan advokasi. Sebagai industri yang relatif baru memasuki usia 10 tahun, baik pelaku usaha maupun masyarakat, yang masih perlu belajar dan beradaptasi dengan cepatnya perubahan regulasi.

"Literasi keuangan adalah PR besar kita bersama sebagai bangsa. Kami percaya, kunci untuk membangun ekosistem yang sehat adalah meningkatkan pemahaman di semua pihak, baik dari sisi platform maupun pengguna. Dengan goodwill dari semua pihak termasuk platform, pemberi dana (lender), dan penerima dana (borrower), sangat penting untuk menjaga ekosistem ini tetap sehat dan sustainable," kata Harza.

Butuh Transparansi dan Kolaborasi

Nucky menyampaikan dengan adanya transparansi dan kolaborasi yang kuat, industri pindar dapat terus berkembang dengan baik. Ia juga mengingatkan para penerima dana untuk bertanggung jawab dan tidak menganggap sepele pinjaman, karena hal ini dapat memengaruhi reputasi kredit mereka di masa depan.

“Tata kelola yang baik dan etika industri adalah fondasi utama bagi keberlanjutan industri P2P Lending di Indonesia. Dengan komitmen bersama, industri ini dapat terus tumbuh sehat, transparan, dan berintegritas,” ungkap Nucky.

Di sisi lain, Easycash juga mengapresiasi langkah Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang berhasil mencatatkan prestasi baru dengan meraih Rekor Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) untuk Siaran Literasi Pinjaman Daring Terlama.

Melalui podcast tayangan langsung di YouTube selama 25 jam nonstop pada 21–22 Agustus 2025, program ini menghadirkan lebih dari 25 topik dalam 50+ sesi, mulai dari pemahaman dasar mengenai pinjaman daring (pindar), literasi keuangan digital, bahaya pinjol ilegal, hingga peran industri pindar dalam sinergi membangun perekonomian nasional.

“Easycash mengapresiasi kerja keras AFPI dalam memperluas literasi keuangan. Program ini mencerminkan komitmen bersama seluruh pelaku industri untuk menghadirkan ekosistem keuangan digital yang lebih inklusif dan berkelanjutan," kata Direktur Utama Easycash, Nucky Poedjiardjo.

AFPI Bantah Soal Kesepakatan Harga Bunga Pinjol

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menegaskan bahwa platform pinjaman daring (Pindar) atau lebih dikenal pinjol tidak pernah melakukan kesepakatan harga di tahun 2018, sebagaimana dugaan yang dilayangkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Ketua Bidang Hubungan Masyarakat AFPI Kuseryansyah, mengatakan pihaknya menyampaikan bahwa Surat Keputusan (SK) Code of Conduct Asosiasi yang disebut sebagai alat bukti kesepakatan antar platform oleh KPPU juga telah dicabut pada 8 November 2023, sesuai tanggal mulai berlakunya SEOJK 19-SEOJK.06-2023 yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Kami ingin menegaskan bahwa tidak pernah ada kesepakatan penetapan batas maksimum manfaat ekonomi (suku bunga) antar platform di 2018-2023. Pasca ditetapkannya SEOJK 19-SEOJK.06-2023 yang berlaku di akhir 2023, kami telah mencabut Code of Conduct dan patuh pada regulasi," kata Kuseryansyah dalam konferensi AFPI di Jakarta, Rabu (27/8/2025).

Menurutnya, batas maksimum manfaat ekonomi (suku bunga) merupakan arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada saat itu untuk melindungi konsumen dari predatory lending dan pinjol ilegal yang memasang bunga sangat tinggi. Hal ini juga sudah AFPI sampaikan ke KPPU.

Tidak Ada Indikasi Kesepakatan yang Diduga KPPU

Sebelumnya, studi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), yang mengutip data OJK, menyebutkan sepanjang 2024 jumlah entitas pinjol ilegal mencapai 3.240, atau sekitar 30 kali lipat lebih banyak dibandingkan platform pinjaman daring resmi yang hanya berjumlah 97. Data ini menegaskan masih besarnya tantangan dal melindungi masyarakat dari praktik pinjol ilegal.

“Masifnya penyebaran pinjol ilegal menuntut pelaku usaha berizin untuk menetapkan mekanisme perlindungan konsumen, salah satunya membatasi suku bunga supaya terjangkau dan tidak membebani," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Pakar Hukum sekaligus Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKPU-FHUI) Ditha Wiradiputra, memberikan perspektif hukum mengenai tuduhan kartel yang dilayangkan KPPU kepada pelaku Pindar.

Menurut Ditha, tidak menemukan indikasi kesepakatan harga dalam dugaan yang dilayangkan KPPU. Ia menjelaskan, salah satu tujuan perusahaan-perusahaan membuat perjanjian penetapan harga adalah agar mereka bisa mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, dengan cara membuat kesepakatan.

"Skenario yang mereka lakukan, biasanya semua yang harganya rendah mereka naikkan jadi tinggi. Dalam konteks industri Pindar, manfaat ekonomi malah diturunkan. Jadi, apakah ada keuntungan yang lebih besar diperoleh perusahaan pindar?” ujar Ditha.

Read Entire Article
Bisnis | Football |