Insentif Mobil Listrik Berakhir 2025, Perlu Diperpanjang?

3 weeks ago 5

Liputan6.com, Jakarta Pemberian insentif fiskal terhadap impor kendaraan listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) utuh (CBU) dinilai memang mampu mendorong penjualan mobil listrik dalam dua tahun terakhir. Namun, kebijakan ini juga berpotensi menghambat investasi industri otomotif dalam negeri bila terus diperpanjang.

Berdasarkan regulasi Permeninvest No. 6/2023, pemerintah memberikan pembebasan bea masuk 0%, keringanan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), pembebasan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), serta Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) untuk mobil listrik impor. Dengan insentif tersebut, konsumen hanya menanggung PPN sebesar 11% pada 2024 dan 12% di 2025.

“Kebijakan ini sebenarnya hanya berlaku hingga akhir 2025, dengan syarat pabrikan harus berkomitmen membangun fasilitas produksi BEV di Indonesia yang mulai beroperasi paling lambat 2027,” ujar Riyanto, Senin (25/8/2025).

Riyanto mengakui bahwa adanya insentif membuat penjualan BEV impor meningkat signifikan, bahkan melampaui penjualan hybrid electric vehicle (HEV) pada 2025. “Uji pasar BEV berhasil, terjadi kenaikan penjualan ketika insentif fiskal diberikan. Namun efek ekonominya hanya berhenti di sektor perdagangan mobil, multiplier effect-nya jauh lebih kecil dibanding BEV produksi lokal,” tegasnya.

Menurut dia, industri otomotif dalam negeri memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang jauh lebih besar ketimbang hanya menjadi pasar impor mobil listrik. “Kalau insentif diperpanjang, dikhawatirkan utilisasi pabrik dalam negeri tidak optimal dan target produksi 400 ribu unit mobil listrik pada 2025 bisa terhambat,” jelasnya.

Lonjakan Penjualan, tapi Manfaat Terbatas

Lebih lanjut, Riyanto menekankan bahwa perpanjangan insentif impor BEV bisa menimbulkan ketidakadilan bagi perusahaan yang sudah berinvestasi membangun pabrik di Indonesia. “Hal ini tidak fair terhadap pelaku industri dalam negeri, dan bisa mengganggu kredibilitas serta konsistensi kebijakan pemerintah. Pada akhirnya iklim investasi menjadi terancam,” ujarnya.

Rekomendasi Kebijakan

Sebagai solusi, Riyanto menyarankan pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh atas program insentif impor BEV CBU, baik dari sisi fiskal, manfaat ekonomi, maupun penciptaan lapangan kerja.

“Kebijakan fiskal sebaiknya konsisten, adil, dan proporsional, berbasis emisi serta tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Kendaraan yang benar-benar berkontribusi besar dalam pengurangan emisi dan ekonomi nasional, itulah yang seharusnya memperoleh insentif besar,” kata dia.

Ia menegaskan, insentif impor BEV tidak semestinya diperpanjang agar Indonesia tidak sekadar menjadi pasar, melainkan juga pusat produksi kendaraan listrik di kawasan.

Produsen Kendaraan Listrik di Indonesia Diminta Pakai Baterai Berbasis Nikel

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (Kementerian BUMN) mendorong regulasi supaya produsen kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di Indonesia supaya memakai baterai berbasis nikel. Hal ini seiring baterai yang dipakai berbasis lithium,

Hal itu disampaikan Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo saat acara International Battery Summit 2025, seperti dikutip dari Antara, Selasa (5/8/2025).

"Pelan-pelan kita juga mendorong regulasi untuk yang pabrik-pabrik EV Indonesia sekarang yang produsen mobilnya supaya shifting juga dari lithium base ke nickel base,” ujar Kartika, seperti dikutip dari Antara.

Ia menuturkan, saat ini BUMN telah masuk dalam proyek baterai kendaraan listrik, seperti proyek bersama dengan CATL dan Huayou, dan turut mendorong untuk menambah porsi investasi di industri antara (midstream).

“Karena sekarang banyak pabrik yang beroperasi di Indonesia masih lithium base. Kita ingin support dari kementerian-kementerian lain agar ada insentif buat shifting ke nickel base baterai juga di Indonesia,” ujar dia.

Pada acara itu, ia juga mengatakan secara global permintaan baterai hingga 2040 mencapai 8.800 gigawatt hour (GWh) sehingga rantai pasok memiliki peranan penting dalam memenuhi kebutuhan itu.

Indonesia dapat mengambil peranan itu dengan cara mengamankan suplai bahan baku, mendongkrak efisiensi rantai pasok serta melakukan kerja sama dan kolaborasi strategis.

Sebelumnya, Presiden Prabowo pada 29 Juni 2025 telah meresmikan proyek ekosistem industri baterai kendaraan listrik terintegrasi konsorsium ANTAM-IBC-CBL di Kawasan Artha Industrial Hills (AIH), di Karawang.

Proyek Industri Baterai

Proyek industri baterai ini adalah kerja sama antara PT Aneka Tambang Tbk (Antam), Indonesia Battery Corporation (IBC), dan Konsorsium CATL, Brunp, serta Lygend (CBL).Proyek baterai kendaraan listrik ini dikembangkan dari hulu ke hilir dengan total enam subproyek, lima di antaranya berlokasi di Halmahera Timur dan satu di Karawang.

Sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), nilai investasi proyek mencapai 5,9 miliar dolar AS dan mencakup area seluas 3.023 hektare, dengan potensi penyerapan tenaga kerja hingga 8.000 orang, serta pengembangan 18 proyek infrastruktur, termasuk dermaga multifungsi.

Proyek ini juga dirancang ramah lingkungan dengan pemanfaatan kombinasi energi seperti PLTU 2x150 MW, PLTG 80 MW, pembangkit dari limbah panas 30 MW, dan tenaga surya sebesar 172 MWp—termasuk 24 MWp di pabrik Karawang.

Read Entire Article
Bisnis | Football |