Ketahanan Siber Tak Cukup dengan Teknologi, Manusia Jadi Titik Lemah

2 weeks ago 6

Liputan6.com, Jakarta - Di tengah meningkatnya ancaman kejahatan siber, BCA bersama Jaringan PRIMA menggelar Media Gathering PRIMA Talkshow bertajuk “Bangun Ketahanan Siber, Jaga Data Pribadi di Era Digital”.

Acara yang berlangsung di Greyhound Cafe Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, (27/8/2025) ini menghadirkan dua narasumber utama, yakni Vice President BCA, Sugianto Wono, dan SEVP Information Systems Security PT Rintis Sejahtera, Jeffrey Sukardi.

Dalam era digital saat ini, semua hal bergerak cepat dan hampir sepenuhnya bergantung dengan teknologi, begitu pula kejahatan juga beralih mengikut era, yang mana kejahatan yang dilakukan mengarah pada celah keamanan dan pencurian data.

Vice President BCA, Sugianto Wono, mengingatkan bahwa faktor manusia kini menjadi titik lemah terbesar dalam keamanan digital.

“Tren keamanan siber saat ini banyak berkaitan dengan sisi people. Baik karyawan internal, nasabah, hingga mitra bisnis bisa menjadi target serangan,” ujarnya dalam Media Gathering PRIMA Talkshow BCA dan Jaringan PRIMA.

Faktor Penyebab Serangan Siber

Perkembangan teknologi digital memang membawa kemudahan luar biasa, khususnya dalam layanan perbankan dan sistem pembayaran. Namun, di balik kemudahan itu, risiko serangan siber juga kian meningkat. Data pribadi yang kini menjadi aset berharga sering kali menjadi incaran utama para pelaku kejahatan digital.

Salah satu modus yang marak adalah penggunaan fake BTS (base transceiver station) untuk mengirim SMS palsu yang seolah-olah berasal dari institusi perbankan.

Modus ini membuat banyak nasabah terkecoh karena pesan terlihat resmi, padahal berisi tautan berbahaya. “Bukan berarti sistem bank yang lemah, tapi ada celah di sisi telekomunikasi yang dimanfaatkan fraudster atau scammer. Masyarakat perlu lebih waspada agar tidak terjebak,” jelas Jeffrey Sukardi.

Selain fake BTS, teknik rekayasa sosial seperti phishing, malware tersembunyi, hingga pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) untuk membuat pesan penipuan semakin sulit dibedakan, menjadi tantangan baru dalam menjaga keamanan data.

“Teknologi secanggih apa pun tidak akan cukup tanpa kesadaran dari pengguna. Karena itu edukasi literasi digital menjadi kunci utama,” tegas Sugianto Wono.

Motif Serangan Siber

Sugianto Wono menjelaskan bahwa kejahatan siber terus berkembang seiring dengan inovasi teknologi.

“Kalau kita update sistem, para pelaku juga ikut belajar. Mereka punya komunitas yang terstruktur, saling berbagi cara membobol organisasi. Bahkan pernah ditemukan anak SMP yang bisa menjadi pimpinan kelompok hacker,” ungkapnya.

Modus serangan yang sering ditemui di lapangan antara lain melalui SMS palsu yang memanfaatkan celah di jaringan telekomunikasi. Dengan memasang perangkat fake BTS, pelaku dapat mengirim pesan yang seolah-olah berasal dari bank, lengkap dengan tampilan meyakinkan. “Begitu perangkat kita terkoneksi, pesan palsu bisa mereka modifikasi seolah-olah dikirim langsung oleh bank,” jelas Jeffrey Sukardi.

Selain itu, teknik phishing masih menjadi senjata utama para penipu. Dengan memanfaatkan rasa ingin tahu pengguna atau kelemahan dalam manajemen password, banyak korban akhirnya menyerahkan data pribadinya tanpa sadar. “Banyak orang masih pakai password sederhana, bahkan sama untuk semua akun. Kalau satu akun bocor, yang lain ikut terancam,” tambah Sugianto.

Jeffrey juga mengingatkan bahwa teknologi seperti Artificial Intelligence (AI) kini dimanfaatkan ganda—sebagai alat proteksi dan sekaligus senjata serangan. “AI bisa membantu mendeteksi anomali, tapi di sisi lain juga dipakai untuk membuat email phishing yang makin sulit dibedakan dari aslinya,” katanya.

Upaya Pencegahan

Untuk mengantisipasi serangan yang semakin kompleks, BCA bersama Jaringan PRIMA tidak hanya memperkuat sistem keamanan teknologi, tetapi juga fokus pada edukasi kepada masyarakat.

Menurut Sugianto, prinsip security by design dan privacy by design sudah diterapkan sejak tahap awal pengembangan layanan digital BCA.

“Dari awal setiap aplikasi yang dibuat sudah melekat aspek keamanan dan perlindungan data. Tapi kembali lagi, kesadaran pengguna tetap jadi kunci,” tegasnya.

Jeffrey menambahkan bahwa peran media sangat penting dalam menyebarkan literasi digital. Dengan pemberitaan yang tepat, masyarakat bisa lebih waspada terhadap modus penipuan baru yang terus bermunculan.

“Teknologi sehebat apa pun tidak akan pernah cukup tanpa kesadaran dari kita semua sebagai pengguna. Media punya peran besar menyampaikan pesan edukasi ini,” ujarnya.

Read Entire Article
Bisnis | Football |