Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai penerapan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) belum sepenuhnya menjadi hambatan bagi sektor manufaktur nasional.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, mengatakan meskipun Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Juli 2025 masih berada di zona kontraksi, terdapat perbaikan yang patut dicatat. PMI Manufaktur Indonesia meningkat ke level 49,2, naik dari bulan sebelumnya yang berada di angka 46,9.
“Meski masih berada pada zona kontraksi (<50), PMI Manufaktur Indonesia pada Juli 2025 menunjukkan peningkatan yaitu berada pada angka 49,2 lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 46,9,” kata Dian dikutip dari Jawaban Tertulisnya, Minggu (24/8/2026)
Menurut Dian, dukungan dari kesepakatan tarif impor AS terhadap produk Indonesia, penurunan BI Rate, serta keunggulan daya saing produk ekspor menjadi faktor penting yang dapat memperkuat sektor manufaktur.
Hal ini diyakini mampu menjaga kontribusi sektor manufaktur dalam memenuhi kebutuhan barang konsumsi domestik sekaligus memperbesar volume ekspor barang jadi.
Ia menambahkan, sektor manufaktur tidak hanya berperan dalam menggerakkan ekspor, tetapi juga mendukung penciptaan lapangan kerja. Dengan begitu, potensi kredit perbankan yang mengalir ke sektor ini tetap besar, terutama bagi subsektor dengan orientasi ekspor seperti tekstil, elektronik, otomotif, dan pangan olahan.
Potensi Sektor Manufaktur
“Dengan didukung oleh kesepakatan tarif impor AS terhadap produk Indonesia dan penurunan BI Rate serta dengan tetap mempertahankan competitive advantage produk ekspor Indonesia dibandingkan negara lainnya,” ujarnya.
Dian mengatakan sektor manufaktur tetap memiliki potensi untuk terus tumbuh dalam rangka memenuhi kebutuhan terhadap barang konsumsi (pangan, pakaian, elektronik, otomotif, dll), meningkatkan volume ekspor barang jadi ke berbagai negara, serta menjalankan salah satu peran dalam penciptaan lapangan pekerjaan.
Kredit Konsumsi Tetap Bertumbuh
Di sisi lain, OJK mencatat penyaluran kredit konsumsi masih menunjukkan tren positif. Per Juni 2025, kredit konsumsi tumbuh sebesar 8,49 persen secara tahunan. Kualitas kredit konsumsi juga terjaga dengan rasio kredit bermasalah (NPL gross) hanya sebesar 2,25 persen.
Salah satu motor pertumbuhan kredit konsumsi datang dari layanan Buy Now Pay Later (BNPL) yang disediakan perbankan. Meski porsinya relatif kecil, yakni 0,29 persen dari total kredit, segmen ini mencatatkan lonjakan signifikan.
“Per Juni 2025, baki debet kredit BNPL sebagaimana dilaporkan dalam SLIK, tumbuh 29,75 persen yoy menjadi Rp22,99 triliun, dengan jumlah rekening mencapai 26,96 juta,” ujarnya.
Peran Pemerintah dan Prinsip Kehati-hatian
Untuk menopang pertumbuhan kredit, pemerintah terus meluncurkan berbagai program guna menjaga daya beli masyarakat. Sejumlah inisiatif diarahkan untuk memperkuat konsumsi domestik sehingga dapat menjadi penopang ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global.
Program-program ini diharapkan menjadi katalis positif bagi perbankan untuk meningkatkan penyaluran kredit, baik di sektor manufaktur maupun konsumsi. OJK menilai langkah ini penting agar pertumbuhan kredit tidak hanya terfokus pada sektor tertentu, tetapi mampu menyebar secara lebih merata.
"Dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, terdapat beberapa program Pemerintah yang dirancang untuk menguatkan daya beli masyarakat, yang diharapkan mampu menumbuhkan kredit perbankan, termasuk kredit konsumsi, lebih baik dibanding periode sebelumnya,” pungkasnya.