Leicester City: Sebuah Dekade Penuh Kejutan, Air Mata, dan Harapan Baru

1 month ago 8

Liputan6.com, Jakarta Selama satu dekade terakhir, Leicester City menjadi bukti nyata bahwa sepak bola bisa menghadirkan kisah paling gila, paling tragis, sekaligus paling membanggakan.

Dari menaklukkan Premier League sebagai juara kejutan pada 2016, hingga kembali terdegradasi ke Championship di tengah ancaman hukuman poin, semua telah dilalui The Foxes dalam perjalanan yang penuh dinamika.

Musim 2015/2016 menjadi momen paling magis dalam sejarah klub yang bermarkas di King Power Stadium. Di bawah asuhan Claudio Ranieri, Leicester yang saat itu tak diunggulkan, bahkan dijagokan terdegradasi, justru mengguncang dunia dengan menjadi juara Premier League. Cerita 5.000 banding satu itu kini menjadi legenda, simbol bahwa mimpi gila pun bisa jadi kenyataan.

Dari Puncak Premier League ke Zona Abu-abu

Namun dua tahun kemudian, langit biru di King Power Stadium berubah kelam. Vichai Srivaddhanaprabha, pemilik sekaligus tokoh penting di balik sukses Leicester, tewas dalam kecelakaan helikopter tragis di luar stadion.

Kehilangan Vichai bukan hanya soal kepemilikan klub, tapi juga kehilangan sosok ayah bagi komunitas sepak bola Leicester.

Kini, tepat satu dekade setelah keajaiban 2016, Leicester kembali ke kasta kedua sepak bola Inggris. Lebih pahit lagi, kejatuhan ini dibarengi dengan ancaman pengurangan poin karena dugaan pelanggaran aturan keuangan, usai sebelumnya berhasil promosi sebagai juara Championship hanya satu musim sebelumnya.

Akhir dari Era Emas Leicester

Momen ini menjadi penanda akhir dari era emas Leicester. Jamie Vardy, ikon klub dan satu-satunya pemain tersisa dari skuad juara Premier League, telah pergi.

Di sisi lain, musim panas ini nyaris tanpa aktivitas belanja pemain, memperjelas arah klub yang lebih bersifat bertahan ketimbang ekspansif.

“Perjalanan 10 tahun ini seperti rollercoaster emosi,” ujar Kate Blakemore, fans Leicester yang juga kontributor BBC Sport. “Kami pernah berada di puncak, merayakan kemenangan FA Cup dan Premier League. Tapi kini, kami kembali ke Championship dan semuanya terasa tidak menentu.”

Daya Juang yang Tak Pernah Padam

Kisah Leicester bukan hanya tentang kejayaan dan kehancuran, tapi juga tentang semangat untuk terus bangkit. Dari promosi ke Premier League pada 2014, bertahan dengan dramatis di bawah Nigel Pearson, hingga mencatat sejarah di Liga Champions dan meraih FA Cup serta Community Shield di bawah Brendan Rodgers.

Namun, keberhasilan itu tidak diikuti dengan investasi berkelanjutan. Kehilangan pemain-pemain penting seperti Riyad Mahrez dan Harry Maguire menjadi strategi finansial untuk menjaga neraca, namun pada akhirnya tidak cukup untuk menjaga kestabilan performa tim.

“Jika di sepak bola kamu diam di tempat, maka sebenarnya kamu sedang mundur,” ujar Mike Stowell, mantan pelatih kiper yang 16 tahun mengabdi di Leicester. Ia menilai bahwa minimnya investasi setelah juara Premier League menjadi salah satu penyebab utama kemunduran klub.

Marti Cifuentes, Harapan Baru dari Reruntuhan

Kini, tanggung jawab untuk mengangkat kembali Leicester berada di tangan Marti Cifuentes. Mantan pelatih QPR ini dikenal sebagai pelatih dengan pendekatan menyerang dan penguasaan bola, mirip seperti Enzo Maresca, arsitek promosi Leicester tahun lalu yang kini melatih Chelsea.

Cifuentes datang di tengah ketidakpastian, baik dari sisi manajemen maupun transfer pemain. Hingga saat ini, satu-satunya rekrutan anyar adalah Asmir Begovic, itu pun didatangkan dengan status bebas transfer. Sementara lubang besar yang ditinggalkan Vardy belum juga terisi.

Meski demikian, Cifuentes tidak gentar. “Saya suka berada di tempat di mana ekspektasi tinggi, karena itu menandakan adanya ambisi. Dan saya siap dengan tekanan itu,” katanya kepada BBC Radio Leicester.

Mengenang Kejayaan, Menatap Masa Depan

Salah satu upaya Cifuentes menjaga identitas klub adalah dengan menggandeng Andy King, bagian dari skuad juara Premier League, sebagai staf pelatih.

Selain itu, kehadiran pemain muda jebolan akademi seperti Ben Nelson yang pernah jadi ball boy saat Andrea Bocelli menyanyikan “Nessun Dorma” dalam perayaan gelar 2016 menjadi simbol kesinambungan dari generasi ke generasi.

Nelson yang kini berusia 21 tahun mengenang masa itu sebagai momen yang membentuk mimpinya. “Sekarang saatnya reset. Kami harus mulai lagi dari nol, langkah demi langkah,” ujarnya.

Sumber: BBC

Read Entire Article
Bisnis | Football |