Mengapa Penipuan Keuangan Terjadi? Jawabannya Berawal dari Emosi

3 weeks ago 9

Liputan6.com, Jakarta - Di Los Angeles, pada 1980-an, sekelompok pemuda bermimpi cepat kaya lewat sebuah klub investasi eksklusif. Dipimpin oleh Joe Hunt, mereka tergoda oleh jebakan kekayaan instan yang berujung pada skandal penipuan dan pembunuhan.

Kisah inilah yang diangkat dalam CNN Original Series “Billionaire Boys Club”. Serial ini bukan hanya drama kriminal, tetapi juga potret gelap tentang kerakusan di dunia keuangan, sebuah pola yang terus berulang dari masa ke masa. Hal ini juga bisa menjadi pengingat ambisi akan kekayaan bisa dimanfaatkan orang lain. 

Menurut Profesor ekonomi dan keuangan di Stanford Anat Admati, keserakahan adalah dorongan manusia yang paling mendasar. Keserakahan adalah tentang keinginan memiliki untuk mengonsumsi, dan itu adalah dorongan universal, atau merata di mana-mana.

"Keserakahan telah mendorong tindakan manusia sepanjang sejarah, termasuk dalam dunia keuangan,” kata profesor keuangan dan ekonomi di Stanford Graduate School of Business, Anat Admati, dilansir dari CNN, Minggu (24/8/2025).

Sistem kapitalisme dan pasar sendiri berorientasi pada keuntungan. Meski mampu menciptakan pertumbuhan dan kekayaan luar biasa, kerangka ini juga bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak yang berniat buruk. Dalam kasus Billionaire Boys Club, obsesi Hunt akan uang dan status perlahan berubah menjadi penipuan yang menjerat banyak orang.

Keserakahan di Dunia Keuangan Lebih Berbahaya

Keserakahan dalam dunia finansial terasa lebih berbahaya karena emosi manusia mudah dimainkan. Janji cepat kaya membuat banyak orang percaya pada klaim palsu, dan terjebak dalam skema Ponzi (penipuan invstasi).

“Uang adalah sumber kekuasaan dan kekaguman, Budaya ingin kaya dan sukses finansial sangat kuat. Lalu itu bertemu dengan sifat psikologis manusia yang ingin percaya pada sesuatu, atau ingin mempercayai orang lain,” ujarnya.

Meski sudah banyak kisah peringatan tentang penipuan, banyak yang masih sering tertipu karena berpikir tidak mungkin dirinya yang jadi korban, kata Admati.

“Orang lebih mudah diperdaya ketika mereka tidak paham bagaimana klaim yang disampaikan bisa dimanipulasi di belakang layar,” ujarnya.

Pola Berulang

Era 1980-an dikenal sebagai masa penuh keserakahan di Wall Street, seperti yang diceritakan dalam serial “Billionaire Boys Club” dan juga dalam buku Barbarians at the Gate karya Bryan Burrough dan Joe Helyar, Liar’s Poker karya Michael Lewis, serta film tahun 1987 berjudul Wall Street.

Di abad ke-21, berbagai bentuk penipuan finansial terus memengaruhi orang di seluruh Amerika.

Baru minggu lalu, Komisi Sekuritas dan Bursa AS (SEC) mengumumkan telah menuntut sebuah perusahaan berbasis di Georgia karena menjalankan skema Ponzi senilai USD 140 juta.

Era Kripto Bawa Risiko Baru

Profesor ekonomi di Pepperdine Graziadio School of Business, David Smith mengatakan, biasanya tema keserakahan yang sama terus berulang, hanya dalam kerangka atau motif yang berbeda.

“Sebagai ekonom, salah satu hal yang kami pelajari dengan saksama adalah insentif dan bagaimana itu mendorong perilaku manusia. Setiap individu punya motif berbeda, tapi salah satunya adalah mengejar kekayaan,” ujar Smith.

Smith menuturkan, keserakahan murni dan keinginan untuk menambah kekayaan, atau pengalaman kesulitan finansial, bisa menjadi alasan seseorang melakukan penipuan.

Hal serupa disampaikan Hilary Allen, profesor hukum di American University. Dia menilai, era kripto membawa risiko baru. Banyak aset digital, seperti memecoin, hanya bergerak karena hype, bukan karena nilai nyata, dan sering membuat investor kehilangan uang.

Menurut laporan FBI, korban melaporkan kerugian lebih dari USD 5,6 miliar atau Rp 91,05 triliun (asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah di kisaran 16.260) akibat penipuan kripto pada 2023, naik 45% dibanding 2022.

"Tidak ada alasan masuk akal bagi aset itu untuk punya nilai, selain keyakinan bahwa seseorang di masa depan akan membelinya lebih mahal daripada harga yang kamu bayar. Dan itu sangat mirip Ponzi,” ujar Allen.

Kurangnya Pengawasan dan Regulasi

Allen menuturkan, Wall Street 1980-an hingga memecoin pada 2020-an, kurangnya pengawasan dan regulasi menciptakan peluang bagi pelaku kejahatan.

“Keserakahan bukanlah hal baru, dan keserakahan dalam layanan keuangan terutama bukan hal baru, karena di sanalah uang berada,” kata Allen.

Pada April lalu, SEC mengumumkan telah menuntut seseorang karena menjalankan skema kripto palsu yang mengumpulkan USD 198 juta atau Rp 3,2 triliun dari investor.

Ramil Palafox menyalahgunakan USD 57 juta atau Rp 926,8 miliar dana investor untuk membeli mobil Lamborghini dan barang-barang dari “ritel mewah,” kata SEC, sambil menjalankan skema mirip Ponzi hingga proyek penipuannya runtuh.

“Pasar keuangan setidaknya relatif transparan, sedangkan kripto, meskipun mengklaim dibangun di atas verifikasi penuh dan keterbukaan blockchain, masih memberi banyak peluang bagi pelaku jahat untuk memanfaatkan kurangnya informasi yang ada. Selain itu juga ada kurangnya regulasi,” kata Smith dari Pepperdine.

Cara Melindungi Diri

Keserakahan bisa menjadi dasar kasus besar tentang korupsi dan pembunuhan, seperti Billionaire Boys Club. Namun, keserakahan dan penipuan juga bisa muncul sehari-hari, mulai dari email phishing hingga penipuan online.

Skema penipuan tak selalu sebesar skandal miliaran dolar. Dalam keseharian, bentuknya bisa sederhana seperti email phishing, investasi bodong, atau tawaran pasti untung.

Smith memberikan nasihat sederhana, "Kalau terdengar terlalu bagus untuk jadi kenyataan, kemungkinan besar memang begitu (penipuan).”

Mengenai alasan orang tertarik mendengar kisah tentang keserakahan dan penipuan finansial, Smith mengatakan hal itu menyentuh inti emosi manusia yang bisa mereka rasakan.

“Saya pikir kita semua bisa memahami godaan dari sebuah kesempatan yang terdengar seperti jalan pintas menuju sesuatu,” katanya.

Ia menyarankan agar calon investor selalu menilai toleransi risiko pribadi, tidak terburu-buru, dan berdiskusi dengan penasihat keuangan atau orang terdekat sebelum mengambil keputusan.

"Keputusan terburuk biasanya muncul ketika seseorang bertindak sendirian, tanpa memeriksa atau menilai ide maupun tawaran itu bersama orang lain,” katanya.

Read Entire Article
Bisnis | Football |