Nostalgia: Ketika Luka Modric Mendapat Label Transfer Terburuk di La Liga

1 day ago 5

Liputan6.com, Jakarta Senin, 27 Agustus 2012, Luka Modric berdiri di atas rumput hijau Santiago Bernabeu. Di sekelilingnya, para penggemar Real Madrid menyambut rekrutan anyar dari Tottenham itu dengan antusias. Inilah momen yang diyakini sebagai takdir sepak bola—Modric bergabung dengan klub elite yang sanggup mengejar trofi terbesar di Eropa.

Bersinar bersama Kroasia di Euro 2008 dan mengangkat pamor Spurs ke level Liga Champions, Modric tampak siap memasuki panggung utama. Ia baru berusia 26 tahun, berada di puncak kariernya, dan dinilai sebagai sosok yang ideal untuk melengkapi lini tengah Los Blancos. Tak mudah bagi Tottenham melepasnya, bahkan Daniel Levy harus menolak pendekatan Chelsea sebelum melepasnya ke Spanyol dengan mahar £30 juta (sekitar Rp570 miliar).

Florentino Perez dan Jose Mourinho menyambutnya sebagai jawaban dari kebutuhan taktis Real Madrid. “Ia punya visi, teknik, keputusan cepat, bisa menekan, dan sangat cerdas dalam menempatkan posisi,” kata Mourinho dalam sebuah wawancara. Madrid sedang bersiap menyapu bersih segalanya.

Namun, kenyataan ternyata tak seindah harapan. Awal yang berantakan membuat narasi seputar dirinya berubah. Pada satu titik, dia bahkan sampai mendapatkan label memalukan sebagai transfer terburuk di La Liga.

Era Mourinho dan Awal Musim yang Berantakan

Musim 2012/13 sejatinya dimulai manis. Modric melakukan debut dalam leg kedua Supercopa de Espana melawan Barcelona dan membantu Madrid meraih trofi lewat kemenangan 2-1 (agregat 4-4). Namun, inilah satu-satunya gelar yang mereka raih musim itu. Sisanya? Kacau, penuh ketegangan, dan sangat “Mourinho”.

Real Madrid cuma meraup empat poin dari empat laga awal La Liga. Barcelona, yang diasuh Tito Vilanova pascaera Pep Guardiola, langsung melesat dan tak terkejar. Madrid tertinggal hingga 18 poin di klasemen—terlalu jauh untuk dikejar, bahkan untuk tim sekelas mereka.

Modric sendiri kesulitan beradaptasi. Ia datang di tengah musim, tanpa pramusim, dan harus langsung masuk ke tim yang sedang bergejolak. Ia lebih sering dimainkan sebagai gelandang serang dalam formasi 4-2-3-1, tapi gagal menyamai kontribusi gemilang Mesut Ozil dari musim sebelumnya.

Dicap Gagal, Dihina Sebagai Pembelian Terburuk

Menjelang Natal 2012, media olahraga ternama Marca menggelar jajak pendapat. Hasilnya mengejutkan: Modric terpilih sebagai "pembelian terburuk La Liga" musim itu. Ia meraih 32 persen suara, mengalahkan nama seperti Alex Song. Tak banyak gol, tak banyak assist, dan tak masuk skema utama Mourinho.

“Ini Real Madrid. Tekanannya luar biasa, saya paham itu,” ujar Modric lewat media Kroasia. Namun, saya percaya saya masih bisa membuktikan diri.” Ucapan itu terasa sebagai bentuk kepercayaan diri yang nyaris terhapus oleh kritik kejam publik Madrid.

Mourinho sendiri tidak tampak terlalu panik. Ia melihat proses adaptasi Modric sebagai sesuatu yang wajar. Sementara itu, di ruang ganti, pelatih asal Portugal itu tengah berkonflik dengan nama-nama besar seperti Iker Casillas dan Sergio Ramos. Atmosfer klub sedang penuh bara. Bagi Modric, ini bukan musim impian, melainkan ujian terbesar.

Titik Balik: Ketika Semua Menyadari Siapa Luka Modric Sebenarnya

Segalanya mulai berubah saat Liga Champions memasuki fase semifinal. Madrid menghadapi Borussia Dortmund dan kalah telak 1-4 di leg pertama, dengan Modric yang tampil sebagai gelandang serang tampak kehilangan arah. Namun, semuanya berubah di leg kedua saat ia dipasang lebih dalam, menemani Xabi Alonso di lini tengah.

Modric mengatur tempo, mendikte permainan, dan menyelesaikan 70 umpan—dua kali lipat dari laga sebelumnya. Madrid menang 2-0 dan nyaris membuat remontada. Untuk pertama kalinya publik Bernabeu melihat siapa sebenarnya Luka Modric—pengatur irama, bukan pencetak angka.

Musim berikutnya, Carlo Ancelotti datang, Ozil dan Kaka pergi, dan Real Madrid mulai membentuk trisula emas: Modric, Kroos, dan Casemiro. Formasi 4-3-3 yang fleksibel memberi Modric kebebasan dalam mengendalikan permainan. Ia bukan No.10, ia adalah otak permainan, seperti Xavi dan Iniesta bagi Barcelona.

Pengakuan, Balon d'Or, dan Status Abadi

Februari 2013, pelatih timnas Kroasia Igor Stimac pernah berkata, “Ia butuh waktu sampai akhir Februari untuk berada di level terbaik.” Benar saja, Modric mulai menunjukkan kelasnya di paruh akhir musim. Mourinho mungkin pergi di akhir musim, tapi warisannya terhadap Modric tetap besar.

“Saya hanya bisa berkata baik tentang Mourinho,” kata Modric. “Ia membuat saya lebih agresif dan selalu meminta lebih dari setiap pemain.” Dalam suasana tim yang penuh konflik, Mourinho tetap percaya pada Modric, bahkan mencoba memboyongnya kembali ke Chelsea di 2014.

Kini, lebih dari satu dekade kemudian, Modric telah menjadi legenda. Enam trofi Liga Champions, satu Ballon d’Or, dan status tak tergantikan di lini tengah Real Madrid. Ia mungkin pernah dianggap sebagai pembelian terburuk, tapi kenyataannya, ia adalah salah satu yang terbaik dalam sejarah klub.

Modric: Dari Ejekan Menjadi Penghormatan

Luka Modric adalah kisah tentang kesabaran, kepercayaan diri, dan kehebatan yang akhirnya ditemukan. Ia datang dengan harapan, disambut keraguan, lalu menjawab semuanya dengan konsistensi dan ketenangan luar biasa. Musim pertamanya di Madrid adalah musim terburuk—dan justru dari situlah legenda itu lahir.

Real Madrid bukan tempat untuk semua orang. Namun, bagi Modric, Santiago Bernabeu adalah panggung di mana ia menunjukkan bahwa pemain besar tak selalu langsung bersinar. Kadang, mereka harus terbakar dulu sebelum benar-benar menyala.

Melihat nomor 10 berlari dengan rambut pirang yang mulai menipis, para Madridista tahu: mereka menyaksikan salah satu maestro terbaik dalam sejarah sepak bola. Semua itu dimulai dari saat ia dicemooh sebagai pembelian terburuk.

Modric dan Akhir Sebuah Era

Pada 22 Mei 2025, diumumkan bahwa Modric akan meninggalkan Real Madrid setelah mengabdi selama 13 tahun. Kepergiannya dijadwalkan usai gelaran Piala Dunia Antarklub 2025 di Amerika Serikat.

Dua hari setelah pengumuman tersebut, Modric menjalani laga kandang terakhirnya bersama Los Blancos di Santiago Bernabeu melawan Real Sociedad. Laga itu menjadi momen penuh emosi. Sebelum peluit akhir berbunyi, Modric menerima penghormatan dari klub dan mendapat guard of honour dari rekan setim serta para pemain lawan—sebuah penghargaan atas legacy yang ia tinggalkan di klub.

Jurnalis sepak bola Guillem Balague menggambarkan perpisahan ini sebagai "akhir dari sebuah era" dalam sejarah Real Madrid.

Read Entire Article
Bisnis | Football |