Liputan6.com, Jakarta Di tengah isu global tentang dampak keberadaan industri ekstraktif, komitmen pengelolaan industri berkelanjutan menjadi keharusan. Beberapa tahun terakhir, ESG yang merupakan singkatan dari Environmental, Social, dan Governance (ESG) tak sekedar jargon tapi menjadi kompas moral dan strategi bisnis yang kini menjadi syarat utama keberlangsungan industri di dunia termasuk Indonesia, seperti pada pertambangan.
Sejak lama, industri pertambangan dikenal sebagai sektor yang “membuka perut bumi” demi produksi. Namun kini paradigma kemudian bergeser. Perusahaan saat ini dinilai bukan hanya dari seberapa besar mengeruk hasil tambang, tapi juga seberapa bertanggung jawab prosesnya terhadap lingkungan.
Di ujung timur Indonesia, di Pulau Obi, Maluku Utara, upaya menambang dengan cara yang bertanggung jawab tengah berlangsung. Dilakukan produsen nikel Harita Group. Pertambangan terintegrasi di Indonesia bagian Timur ini menjadi salah satu bukti komitmen pemerintah untuk mendorong hilirisasi khususnya komoditas nikel, sejak UU Mineral dan Batubara tahun 2009 melarang ekspor bahan mentah.
Indonesia sendiri dikenal sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia. Bahkan, pada 2020, pemerintah memutuskan Pulau Obi sebagai proyek strategis nasional (PSN) untuk pengembangan pertambangan nikel di Indonesia.
Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Hendra Gunawan, mengungkapkan posisi Indonesia hingga kini merupakan sebagai pemain utama Nikel dunia karena tercatat 5,3 miliar ton ore cadangannya yang bisa diproduksikan, serta mencapai 18,5 miliar ton ore sumber daya tersebar utamanya di timur indonesia. “Ini peluang dan tantangan dalam upaya transisi energi,” ujar Hendra dalam satu diskusi.
Dalam rangka mendukung transisi energi, konsep pertambangan hijau merupakan suatu keniscayaan yang harus dijalankan sesuai dengan kerangka ESG. Sejalan hal tersebut, undang-undang pertambangan beserta peraturan turunnya terus mendukung dan mendorong pertambangan standar ESG sebagai landasan bagi praktik pertambangan hijau.
Melalui anak usahanya Harita Nickel, Harita Group perlahan tapi pasti memantapkan diri pada penambangan berkelanjutan. Community Affairs General Manager Harita Nickel, Dindin Makinudin, menyatakan prinsip-prinsip ESG diterapkan Harita secara optimal dalam kegiatan operasional. Dengan tujuan agar keberadaan sumber daya alam bisa dirasakan masyarakat. Serta kondisi lingkungan tetap terjaga.
Selan itu, industri jasa keuangan terutama investor dan perbankan mula menyoroti investasi yang mereka gelontorkan di satu perusahaan menjamin keamanan dan memberikan kinerja yang lebih baik. “ESG kini jadi pertimbangan dalam keputusan berinvestasi,” ungkap Dindin.
Beberapa waktu lalu, Liputan6.com berkesempatan melihat langsung pelaksanaan ESG di Harita Nikel di Pulau Obi. Mulai dari upaya reklamasi areal tambang, pengelolaan lingkungan melalui Sediment Pond (kolam pengendapan), penilaian independen pihak ketiga terkait audit Pertambangan yang Bertanggung Jawab, bertajuk Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA). Hingga, pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat.
Sediment Pond Jadi Komitmen Pengelolaan Lingkungan
Di sisi lingkungan, bentuk komitmen Harita Nickel memenuhi praktik pertambangan berkelanjutan melalui penerapan sistem manajemen air tambang (mine water management), melalui pembangunan Sediment Pond (kolam pengendapan).
Ini merupakan satu sistem pengolahan air yang menjadi cara Harita memastikan air yang dilepaskan ke sungai dan laut sesuai dengan baku mutu lingkungan untuk dialirkan ke laut sebagai muara terakhir.
"Kita harus mengembalikan lagi ke alam setelah apa yang diberikan oleh alam. Misalnya air jernih yang masuk ke dalam tambang kita harus mengembalikan lagi kejernihan air dengan kolam itu sendiri, jadi memfilterasi yang selama ini keruh tertampung di kolam tadi dan menjadi jernih," ujar Senior Mine Hydrology Engineer Harita Nickel Muhamad Riftadi Hidayat di Pulau Obi pada Juni lalu.
Total luas kolam pengendapan Harita tak main-main, telah mencapai 100 hektare (ha), dengan areal terluas mencapai 43 ha. Nilai investasi dari keberadaannya menghabiskan biaya besar. "Biaya pembuatan 43 hektare saja sekitar Rp 45 miliar," lanjut dia.
Sejatinya keberadaan sediment pond mempunyai 2 fungsi, yaitu demi menjaga keselamatan operasional tambang berkaitan dengan curah hujan tinggi di Pulau Obi. Sediment pond ini berada di beberapa lokasi di areal pertambangan dengan luas yang berbeda.
Hijau Royo-royo di Point View Anjungan Himalaya
Komitmen Harita Nickel terhadap lingkungan juga bisa dilihat di lokasi berjuluk "Point View Anjungan Himalaya." Kontras dengan lingkungan pertambagan sekitar, di sini tampak deretan pohon cemara laut, kayu putih, ketapang, kayu nani, hingga gofasa tertanam subur.
Lokasi yang dulunya merupakan lokasi galian tambang ini telah disulap perusahaan kembali hijau. "Lahan tambang dapat dinyatakan mine out apabila proses penambangannya sudah mencapai lapisan batu dasar (bedrock). Artinya, material tambang yang ada di tanah tersebut sudah habis atau telah mencapai batasnya,” kata Environment and Business Improvement Manager Harita Nickel, Dedy Amrin di Pulau Obi.
Harita sudah melakukan reklamasi sejak 2010. Tercatat sejak 2017 hingga kuartal I 2025, perusahaan sudah mereklamasi lahan seluas 105 hektar. Rencananya, perusahaan menargetkan akan melakukan reklamasi lahan bekas kegiatan tambang seluas 66 hektare di tahun ini.
Ekonomi Pembangkit Asa Warga Pulau Obi
Pemberdayaan masyarakat sekitar tak luput dari upaya dilakukan Harita. Mendukung petani dan nelayan, menciptakan dan menghasilkan produk seperti beras, minyak kelapa, budidaya laut dan lainnya. Masyarakat diajak menjadi penyalur kebutuhan pertambangan yang sangat besar, seperti pangan. Mulai dari beras, ikan, ayam da lainnya.
“Tidak hanya peluang kerja, tetapi juga membuka peluang berusaha. Masyarakat mau mengikuti syarat dan ketentuan yang ditentukan perusahaan baik dari segi kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya. Harapannya dengan adanya peluang tersebut menjadi pemantik hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan antara perusahaan dengan masyarakat yang ada di sekitarnya,” jelas Dindin.
Alhasil, tak tanggung-tanggung nilai perputaran ekonomi di pertambangan ini sangat besar. “Per bulan sekitar Rp14 miliar untuk perputaran di lokal,” ujar Dindin.
Sebanyak 729 wirausahawan binaan perusahaan lahir dari pemberdayaan yang berlangsung terus menerus.
Dampak ekonomi ikut mempengaruhi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Halmahera Selatan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Halmahera Selatan, PDRB daerah ini meningkat dengan drastis setelah adanya aktivitas hilirisasi nikel sejak tahun 2016 yakni mencapai 54,59% berasal dari industri pengolahan.
“Pertumbuhan ekonomi stabil tumbuh. Industri pengolahan sangat dominan mendorong perekonomian lokal artinya hilirisasi sukses memantik pertumbuhan ekonomi di Halmahera Selatan,” ungkap Dindin.
Sertifikasi demi Dipercaya Investor Dunia
Demi membangun kepercayaan dunia, Harita Nickel yang memilih menjalani audit secara sukarela terhadap standar pertambangan global paling ketat di dunia, yakni Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) sebagai lembaga independen ESG dunia. Harita Nickel menjadi perusahaan pertambangan dan pemrosesan nikel terintegrasi pertama di Indonesia yang berkomitmen untuk diaudit IRMA.
"Audit IRMA adalah salah satu yang terketat karena melihat ke transparansi, terutama perihal apa yang masyarakat dapatkan sehingga IRMA jadi berbeda dengan audit lain...kami yang pertama untuk diaudit pertama dan kompleks semua dari tambang, processing RKEF dan HPAL," ujar Direktur Health, Safety, and Enviroment (HSE) PT Harita Nickel, Tonny H. Gultom di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Minggu (15/6/2025).
Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) adalah standar pertambangan sukarela yang menjelaskan praktik terbaik untuk melindungi masyarakat dan lingkungan.
Kemudian proses penjaminan untuk mengukur tambang terhadap standar tersebut, dan organisasi yang dikelola secara setara oleh perwakilan dari enam sektor pemangku kepentingan yang terdampak – masyarakat, buruh terorganisasi, LSM, keuangan, pembeli, dan perusahaan pertambangan — yang mengendalikan standar dan proses jaminan.
IRMA unik secara global karena tata kelolanya memberikan masyarakat kekuatan yang sama dengan perusahaan pertambangan, dan kepentingan nonkomersial memiliki kekuatan yang sama dengan kepentingan komersial.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, memperkuat betapa ESG menjadi hal tak boleh diabaikan di sektor pertambangan saat ini. Tak aneh bila kini banyak perusaha pertambangan mencoba memenuhi sertifikasi yang dikeluarkan lembaga-lembaga terpercaya dunia.
Harita sendiri telah menjalani proses IRMA sejak 2024. SCS Global Services, firma audit independen yang disetujui IRMA, melakukan penilaian, yang mencakup kajian dokumen (tahap 1) yang telah dilakukan sejak Oktober 2024 , diikuti oleh audit lapangan (tahap 2) pada April 2025. Total, ada lebih dari 400 persyaratan standar IRMA yang akan melalui proses audit.
Penilaian dilakukan menggunakan informasi dari berbagai unsur seperti anggota masyarakat sekitar, pejabat publik, perwakilan tenaga kerja, atau pihak berkepentingan lainnya.