Liputan6.com, Jakarta - Fenomena pinjaman online (pinjol) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap keuangan digital di Indonesia. Kemudahan akses dan proses yang cepat seringkali membuat banyak individu tergiur, bahkan untuk kebutuhan konsumtif yang tidak mendesak. Namun, tanpa pengelolaan yang bijak, pinjol dapat menjerumuskan seseorang ke dalam lingkaran utang yang sulit diatasi.
Banyak kasus menunjukkan pinjaman online yang awalnya digunakan untuk hal-hal konsumtif, seperti gaya hidup atau pembelian barang yang tidak penting, berujung pada masalah keuangan serius. Tingginya bunga dan denda yang diterapkan oleh beberapa platform pinjol ilegal atau bahkan legal, dapat membuat jumlah utang membengkak dalam waktu singkat.
Oleh karena itu, sangat penting bagi masyarakat untuk memahami cara mengatasi utang pinjol yang terlanjur menumpuk, sekaligus menerapkan strategi untuk cegah pinjol agar tidak terjerat di kemudian hari. Artikel ini akan membahas langkah-langkah yang dapat diambil untuk keluar dari jeratan utang pinjol konsumtif, sebagaimana diulas oleh Liputan6.com.
Identifikasi dan Prioritaskan Utang Pinjol
Langkah krusial dalam mengatasi utang pinjaman online adalah melakukan identifikasi menyeluruh terhadap semua pinjaman yang dimiliki. Ini mencakup pencatatan detail seperti jumlah pokok pinjaman, besaran bunga yang dikenakan, potensi denda keterlambatan, serta tanggal jatuh tempo setiap pinjaman.
Setelah semua data terkumpul, prioritaskan pinjaman mana yang harus dilunasi terlebih dahulu. Umumnya, pinjaman dengan bunga tertinggi atau denda yang paling besar harus menjadi fokus utama.
Strategi ini dikenal sebagai metode 'snowball' atau 'avalanche' dalam manajemen utang, di mana melunasi utang dengan biaya termahal akan menghemat lebih banyak uang dalam jangka panjang.
Di sisi lain, Perencana Keuangan Andy Nugroho memberikan beberapa langkah yang dapat diambil agar kondisi keuangan tidak semakin memburuk.
Andy menilai, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memahami seberapa besar total utang yang dimiliki. Ia menekankan cicilan utang idealnya tidak boleh melebihi 30 persen dari penghasilan bulanan.
“Namun, dalam banyak kasus, orang justru memiliki cicilan yang jauh lebih besar dari batas aman tersebut, sehingga menyulitkan mereka untuk memenuhi kebutuhan lainnya,” ujar Andy kepada Liputan6.com
Fokus Melunasi Utang
Bila sudah dalam kondisi seperti ini, Andy menyarankan agar segera menghentikan pengambilan pinjol baru. Selain itu, Andy menekankan pentingnya fokus pada pelunasan utang yang sudah ada.
Jika beban cicilan terasa berat, seseorang bisa mencari alternatif lain seperti menjual aset yang tidak terlalu dibutuhkan atau meminta bantuan dari keluarga atau teman yang bisa memberikan pinjaman tanpa bunga.
“Cara ini bisa meringankan beban dibandingkan terus-menerus membayar bunga pinjol yang tinggi,” kata Andy.
Restrukturisasi Utang
Sejumlah penyedia pinjol legal juga menawarkan opsi restrukturisasi cicilan bagi peminjam yang mengalami kesulitan keuangan. Andy menuturkan, agar pengguna yang kesulitan membayar cicilan mencoba bernegosiasi dengan pihak pinjol untuk mendapatkan skema pembayaran yang lebih ringan.
“Dengan begitu, mereka bisa tetap memenuhi kewajiban tanpa harus mengorbankan kebutuhan pokok lainnya,” kata dia.
Namun menurut Andy menyelesaikan utang saja tidak cukup. Setelah berhasil keluar dari jeratan pinjol, Andy menekankan pentingnya mengubah kebiasaan keuangan agar tidak kembali terjebak dalam pola konsumtif.
Andy menilai banyak orang yang menggunakan pinjol karena dorongan emosional atau keinginan sesaat, seperti membeli barang yang sebenarnya tidak mendesak hanya karena gengsi atau mengikuti tren.
“Oleh karena itu, evaluasi pola pengeluaran dan membangun kebiasaan menabung menjadi langkah yang sangat penting setelah lepas dari utang pinjol,” ia menambahkan.
Ambil Pinjol untuk Barang Konsumtif Hanya Menambah Beban Keuangan
Selain itu, Andy juga menekankan ketika seseorang mengambil pinjol untuk barang konsumtif, mereka sebenarnya menambah beban finansial yang tidak perlu.
Dia menilai barang yang dibeli dengan pinjol mungkin tidak terlalu penting, tapi yang jelas cicilannya akan tetap berjalan dan harus dibayar dengan tambahan bunga. Ia mencontohkan kasus renovasi rumah untuk gengsi sebagai contoh penggunaan pinjol yang kurang bijak.
"Misalnya, seseorang melihat tetangganya merenovasi rumah dan merasa tidak mau kalah. Akhirnya, dia nekat mengambil pinjol untuk memperbaiki rumahnya juga, padahal sebenarnya rumahnya masih dalam kondisi layak," ungkapnya.
Hal yang sama berlaku untuk pembelian gadget terbaru hanya demi tren. Menurut Andy jika gadget yang lama masih berfungsi, tapi tetap membeli yang baru dengan pinjol hanya karena ingin terlihat mengikuti tren, itu keputusan yang buruk.