Tarif Trump Picu Ketegangan, Hubungan Dagang AS–India di Ujung Tanduk

1 week ago 2

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Senin, 1 September 2025 kembali melontarkan kritik tajam terhadap India, dengan menyebut hubungan dagang kedua negara sebagai “bencana sepihak!”

Kritik itu muncul setelah Perdana Menteri India Narendra Modi menghadiri KTT Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) di China.

Melalui unggahan di Truth Social, Trump mengklaim India sempat menawarkan pemangkasan tarif hingga nol. Namun, menurut dia, langkah itu "terlambat" dan seharusnya dilakukan "bertahun-tahun lalu". Ia tidak menjelaskan secara detail kapan tawaran tersebut diajukan.

Ketegangan ini mencuat setelah AS memberlakukan tarif 50% terhadap India, ditambah bea masuk sekunder 25% bulan lalu untuk pembelian minyak dari Rusia. Pemerintah India mengecam kebijakan tersebut sebagai tindakan yang "tidak adil, tidak dapat dibenarkan, dan tidak masuk akal."

Trump kembali menegaskan kritiknya terhadap India dengan menuding negara itu membeli minyak dan senjata dari Rusia, sekaligus menjual "sejumlah besar barang" ke Amerika Serikat, tetapi mengenakan tarif tinggi pada ekspor AS ke India.

"Alasannya adalah India telah mengenakan tarif yang sangat tinggi kepada kami, hingga saat ini, yang tertinggi di antara negara mana pun, sehingga bisnis kami tidak dapat menjual ke India. Ini benar-benar bencana yang tidak seimbang!” tulis Trump di Truth Social.

Data WTO

Berdasarkan data Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), India pada 2024 mengenakan tarif rata-rata 6,2% terhadap impor dari AS, sedangkan AS hanya mengenakan tarif 2,4% terhadap barang asal India. Rata-rata bobot perdagangan tersebut dihitung berdasarkan tarif bea per unit nilai impor.

Hubungan AS dan India kian memburuk dalam beberapa bulan terakhir, mengganggu relasi yang sebelumnya terus menguat selama lebih dari dua dekade. Sejumlah pejabat AS meningkatkan kritik terhadap New Delhi terkait impor minyak dari Rusia. Namun, India balik menyalahkan AS dan Uni Eropa yang menurutnya juga tetap berdagang dengan Moskow, sekaligus menjadikan New Delhi sasaran kritik.

Dalam pernyataan bulan lalu, Kementerian Luar Negeri India menegaskan, "Sangat jelas bahwa negara-negara yang mengkritik India justru terlibat dalam perdagangan dengan Rusia. Berbeda dengan kasus kami, perdagangan semacam itu bahkan bukan kewajiban nasional yang vital bagi mereka."

Pertemuan Perdana Menteri India dan Presiden China

Pada Mei lalu, India dilaporkan menawarkan kesepakatan tarif "nol-untuk-nol" secara timbal balik untuk produk baja, komponen otomotif, dan farmasi hingga jumlah impor tertentu. Namun, negosiasi dengan Washington gagal mencapai kesepakatan, sehingga Presiden Donald Trump memberlakukan tarif 50% atas ekspor India.

Sementara itu, Perdana Menteri India Narendra Modi bertemu Presiden China Xi Jinping dalam KTT Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) di Tianjin pada 31 Agustus–1 September. Keduanya menegaskan pentingnya membangun kemitraan, bukan persaingan.

Meski begitu, Menteri Keuangan AS Scott Bessent meremehkan anggapan bahwa tarif AS mendorong kedekatan antara India dan Tiongkok. Ia menyebut KTT SCO sekadar “performatif,” menurut laporan Reuters.

Kata Analis

Para analis menilai peningkatan hubungan New Delhi–Beijing akan menguntungkan kedua negara, tetapi skeptis bahwa keduanya bisa menjadi mitra erat mengingat perselisihan lama yang belum terselesaikan.

“Peningkatan hubungan dengan India merupakan hal yang sangat penting. Hal ini memungkinkan India untuk mengakses kekayaan intelektual yang krusial bagi industrialisasi dan penguatan sektor manufakturnya," ujar Kepala Strategi GeoMacro Strategy BCA Access, Marko Papic dalam sebuah email.

Namun, ia menambahkan, dakan jangka panjang, AS kehilangan narasi propagandanya yang berusaha menggambarkan Tiongkok sebagai pengacau utama. "Situasi ini justru semakin memperkuat multipolaritas," ujar dia.

Read Entire Article
Bisnis | Football |