Liputan6.com, Jakarta Gianni Infantino mungkin merasa seperti menyambut hari besar. Gagasan besarnya untuk mengubah Piala Dunia Antarklub akhirnya terwujud.
Ia pertama kali menggulirkan rencana ini pada 2016, tak lama setelah menggantikan Sepp Blatter. Tujuannya: Menghapus format lama yang "tidak inspiratif" dan menggantinya dengan kompetisi akbar berisi 32 klub terbaik dunia.
Namun, saat turnamen ini benar-benar dimulai di Amerika Serikat, keraguan langsung bermunculan. Banyak klub elite absen, dan kriteria kelolosannya menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Banyak Klub Besar Absen, Kualitas Turnamen Dipertanyakan
Dari 32 klub yang tampil, hanya delapan yang merupakan juara liga domestik saat ini. Tim-tim seperti juara liga Inggris, Italia, Spanyol, hingga Argentina bahkan tidak ikut serta.
Beberapa juara kontinental pun tidak diundang. PSG, Botafogo, dan Auckland City memang hadir, tapi juara terbaru dari Afrika, Asia, dan Amerika Utara seperti Pyramids, Al Ahli, dan Cruz Azul justru absen.
Format yang digunakan FIFA mengacu pada juara dari periode 2021 hingga 2024. Tapi dalam sepak bola, performa bisa berubah drastis hanya dalam satu musim, apalagi empat tahun.
Contoh Kasus: Urawa dan Chelsea
Urawa Red Diamonds menjadi sorotan karena lolos sebagai juara Liga Champions Asia 2022. Namun saat itu mereka mendapat jalur mudah dan belum menorehkan prestasi berarti sejak saat itu.
Mereka terakhir kali menjuarai liga Jepang pada 2006, dan bahkan hanya finis di peringkat 13 pada musim terbaru. Sulit menyebut mereka sebagai salah satu klub terbaik Asia saat ini.
Chelsea juga lolos berkat trofi Liga Champions Eropa 202. Namun sejak itu performa mereka menurun tajam dan tak tampil di kompetisi tersebut dua musim terakhir.
Sistem Poin Lima Tahun: Solusi Setengah Matang?
Sebagian klub lolos berkat sistem peringkat akumulatif dari lima musim terakhir. Tapi ini justru membuka celah baru: Terlalu banyak klub yang tampil berdasarkan kejayaan masa lalu.
Juventus misalnya, meraih gelar Serie A kesembilan pada 2021, tapi performanya terus menurun sejak itu. Red Bull Salzburg juga tak dominan lagi di Austria seperti dulu.
Seattle Sounders terakhir kali menjuarai MLS pada 2019. Sementara Borussia Dortmund dan Inter Miami bahkan tidak punya gelar sama sekali dalam periode kualifikasi.
Turnamen Diwarnai Ketidakstabilan Klub Peserta
Separuh dari total klub peserta mengalami pergantian pelatih di tahun 2025. Enam di antaranya akan memulai pertandingan pertama di turnamen ini sebagai debut kompetitif sang pelatih.
Beberapa nama besar yang mengalami transisi adalah Real Madrid, Inter Milan, Al Hilal, Al Ahly, Pachuca, dan Monterrey. Bahkan Auckland City kehilangan pelatih karena alasan pribadi.
Dengan kondisi seperti ini, sulit membayangkan laga berkualitas tinggi akan tercipta. Banyak klub sedang dalam fase transisi atau bahkan kekacauan.