Liputan6.com, Jakarta Liga Europa musim 2024/25 yang penuh harapan bagi Manchester United berujung pahit. Tim asuhan Ruben Amorim, yang tak tersentuh kekalahan sejak fase liga, harus menyerah di final. Kekalahan itu juga mengubur peluang mereka tampil di Liga Champions musim depan.
MU memang limbung di Premier League, tapi tampil perkasa di Eropa. Laga demi laga mereka lewati dengan penuh kendali dan keyakinan. Dari Twente hingga Bilbao, mereka tampil sebagai favorit juara.
Namun, semua harapan itu runtuh di San Mames. Gol tunggal Brennan Johnson di babak pertama membuat Tottenham meraih trofi, sementara MU pulang tanpa apa-apa. Musim tanpa trofi maupun tiket Eropa membuat Setan Merah nelangsa.
MU Tangguh di Fase Liga
Manchester United mengawali Liga Europa dengan hasil imbang 1-1 melawan Twente. Mereka kemudian bermain sama kuat melawan Porto dan Fenerbahce. Meski sempat tertahan, mereka tetap tampil solid dan tak terkalahkan.
Kemenangan pertama diraih saat menjamu PAOK dengan skor 2-0. Setelah itu, MU mulai menunjukkan dominasi mereka. Bodo/Glimt, Plzen, Rangers, dan Steaua Bucharest mereka kalahkan secara meyakinkan.
Delapan laga dilalui MU tanpa satu pun kekalahan. Meski hanya finis di peringkat tiga, performa mereka tak diragukan. MU tampil sebagai salah satu unggulan untuk menjuarai turnamen ini.
MU Mengerikan di Fase Gugur
Memasuki 16 besar, MU menghadapi Real Sociedad. Setelah imbang 1-1 di laga tandang, mereka mengamuk di Old Trafford dan menang 4-1. Kemenangan itu mempertegas kekuatan mereka di kandang.
Perempat final menghadirkan drama melawan Lyon. Dua kali bermain imbang, MU akhirnya unggul 5-4 lewat babak tambahan. Laga itu menunjukkan ketangguhan mental mereka.
Di semifinal, giliran Athletic Bilbao, tuan rumah final, yang menjadi korban. MU menang telak 3-0 di San Mames dan menuntaskan tugas dengan skor 4-1 di Old Trafford. Tiket final pun digenggam dan mereka dianggap siap mengangkat trofi.
MU yang Tumbang di Laga Pemungkas
Final berjalan ketat dan sarat tekanan. MU mencoba menekan sejak awal, tapi kesulitan menciptakan peluang bersih. Tottenham bermain disiplin, menunggu momen.
Gol yang menentukan lahir lewat skema yang tak terlalu rapi. Umpan Pape Sarr dari sisi kiri disambut Brennan Johnson, sempat mengenai Luke Shaw, lalu masuk. Gol itu cukup untuk mengubah segalanya.
MU berusaha bangkit di babak kedua. Peluang demi peluang tercipta, tapi tak ada yang berbuah gol. Sundulan Luke Shaw di menit akhir ditepis Vicario, menandai akhir perjalanan MU dengan kekalahan paling menyakitkan.
MU Kalah di Saat yang Paling Menentukan
Kekalahan ini jadi ironi untuk MU. Setelah 12 laga tanpa kalah, mereka justru tumbang di laga paling penting. Mereka menelan kekalahan satu-satunya, tapi yang paling menentukan.
Ruben Amorim tak bisa menyelamatkan musim pertamanya dengan trofi. Target lolos ke Liga Champions pun sirna. Musim depan bakal terasa hampa.
Sekalinya kalah, MU kalah di final. Ini adalah sebuah penutup kisah yang pahit bagi klub sebesar mereka. Musim ini sejatinya memberi sedikit harapan di tengah performa buruk liga, tapi berakhir tanpa mendapatkan apa-apa.