Liputan6.com, Jakarta "Saya pikir saya adalah pemain tim." Kalimat itu dilontarkan Diogo Jota dalam wawancara pertamanya sebagai pemain Liverpool sebagaimana dikutip dari talkSPORT. Sederhana, merendah, dan mencerminkan sosoknya yang bersahaja.
Namun seiring berjalannya waktu, kalimat tersebut justru menjadi representasi paling tepat untuk menggambarkan kariernya di Anfield: seorang penyerang dengan jiwa kolektif, yang mencetak gol tak sekadar untuk kejayaan pribadi, tapi untuk kebanggaan bersama.
Kini, ketika kabar duka datang begitu mendadak, kepergian Jota dan saudaranya dalam kecelakaan lalu lintas, kata-kata itu bergema lebih dalam.
Diogo Jota bukan sekadar 'pemain tim', tapi bagian tak terpisahkan dari identitas Liverpool selama lima tahun terakhir. Sosok yang bekerja dalam diam, namun menyumbang kilau dalam setiap peluang yang ia cipta dan konversi menjadi gol.
Insting Gol di Balik Kerendahan Hati
Tidak mudah menilai karakter Jota hanya dari permukaan. Ia bukan tipe pemain flamboyan yang penuh selebrasi mewah atau kutipan kontroversial. Namun, di balik wajah kalem dan senyum simpelnya, tersembunyi penyerang yang mematikan, tajam seperti pisau bedah di saat paling genting.
Sejak mencetak gol dalam debut kandangnya melawan Arsenal pada September 2020, Jota menandai dirinya sebagai pemain yang muncul ketika dibutuhkan.
Gol-golnya tidak sekadar mengubah skor, tapi mengubah momentum. Dalam laga Liga Champions melawan Atalanta, ia mencetak hattrick, di kandang lawan, dalam kompetisi paling elit Eropa. Tidak semua pemain bisa mencatatkan prestasi seperti itu di awal kariernya bersama klub besar.
Pada musim 2021/22, ia menjadi penentu dalam semifinal Carabao Cup, mencetak dua gol ke gawang Arsenal. Di final, meski tidak mencetak gol, ia mengeksekusi penalti dengan tenang dan presisi. Ia bukan pemain panggung, tapi seseorang yang membuat panggung itu bersinar.
Kekuatan Mental yang Tak Tertandingi
Yang membuat Diogo Jota unik bukan hanya statistik atau torehan trofi. Tapi keteguhan hatinya. Mantan gelandang Liverpool, Danny Murphy, dengan penuh hormat menyoroti bagaimana Jota selalu bangkit dari cedera, berulang kali.
Cedera pergelangan kaki, cedera hamstring, dan berbagai masalah fisik lainnya tak pernah membuatnya larut dalam keputusasaan. Ia kembali, lebih kuat, lebih lapar, dan tetap rendah hati.
“Ketika Anda melihat sikap pemain itu, saya rasa itu menunjukkan banyak hal tentangnya,” ujar Murphy dalam wawancara bersama talkSPORT.
Jota tidak pernah merajuk saat dicadangkan. Ia tidak pernah mengeluh ketika harus bermain di luar posisi idealnya. Ia mengemban tugas dengan penuh komitmen, entah sebagai penyerang tengah, sayap kiri, atau bahkan turun membantu pertahanan. Inilah esensi dari pernyataannya: pemain tim.
Pahlawan di Saat Genting
Bagi para penggemar Liverpool, nama Jota akan selalu terpatri dalam momen-momen tak terlupakan. Salah satunya terjadi pada April 2023. Liverpool unggul 3-0 atas Tottenham, lalu lengah dan kebobolan tiga gol. Namun di menit akhir, siapa yang muncul? Jota.
Sebuah sepakan tenang yang membawa kemenangan dan cedera hamstring untuk Jurgen Klopp karena selebrasi yang kelewat emosional. Momen itu menjadi simbol dari hubungan antara pemain dan pelatih—penuh respek dan energi emosional yang tulus.
Gol terakhir Jota, yang ia cetak pada April lalu ke gawang Everton di Anfield, menjadi penentu kemenangan dalam Derby Merseyside. Gol itu menjaga asa Liverpool dalam perburuan gelar di musim yang penuh gejolak. Satu gol, tapi begitu krusial. Satu gol, tapi begitu bermakna.
Sumber: talkSPORT