Liputan6.com, Jakarta Di Napoli, pesta dimulai bahkan sebelum peluit akhir dibunyikan. Stadio Diego Armando Maradona bergemuruh, bukan hanya karena kemenangan, tapi karena satu musim penuh kerja keras yang akhirnya dibayar lunas. Antonio Conte—di tribune karena skorsing—menyaksikan timnya naik takhta dari kejauhan.
Di Como, kemenangan juga hadir untuk Inter Milan. Mereka menyelesaikan laga dengan skor yang sama: 2-0. Namun, tidak ada selebrasi, tidak ada bir yang dituang ke kepala pelatih. Mereka menang, tapi tak jadi juara.
Dua laga dengan akhir yang identik, tapi rasa yang sangat berbeda. Di satu sisi penuh euforia, di sisi lain terasa seperti kekosongan yang menyesakkan. Serie A musim ini ditutup dengan ironi paling indah sekaligus paling pahit.
Tekanan, Harapan, dan Gol Pembuka
Sejak menit pertama, atmosfer di Napoli sudah membara. Tanpa Conte di pinggir lapangan, para pemain Partenopei seperti digerakkan oleh semangat tak kasat mata. Matteo Politano dan Amir Rrahmani hampir membuka skor, tapi kiper Cagliari, Alen Sherri, tampil bagai tembok tak tertembus.
Sementara itu, di Como, Inter lebih dulu mencuri keunggulan lewat Stefan de Vrij. Sundulan tajam dari bek asal Belanda itu mempertegas ambisi Nerazzurri mempertahankan mahkota. Tekanan kini kembali ke pundak Napoli.
Namun, menit ke-42 menjadi momen yang akan dikenang selamanya di Naples. Scott McTominay, dengan sepakan salto yang memesona, menghantam jantung Cagliari. Gol itu tak hanya membuka keunggulan, tapi juga membuka pintu sejarah.
Laga Berjalan Seirama, Takdir Berjalan Beda
Di babak kedua, kedua tim unggulan tampil dominan. Inter menambah keunggulan melalui Joaquin Correa dalam penampilan terakhirnya bersama klub. Namun, gol perpisahan itu terasa seperti salam perih yang tak berbalas.
Napoli juga menambah angka lewat Romelu Lukaku. Pemain yang kerap dikritik itu memilih momen paling tepat untuk membungkam kritik. Satu tusukan, satu gol, satu langkah lebih dekat ke mahkota.
Namun, tempo permainan melambat setelah kedua tim unggul dua gol. Como dan Cagliari tampak menyerah pada nasib dan para penonton hanya menanti satu hal: peluit akhir. Di Napoli, itu berarti pesta. Di Como, itu berarti ratapan.
Pesta di Naples, Luka di Como
Ketika wasit meniup peluit akhir di Stadio Diego Armando Maradona, langit Naples seperti pecah oleh suara rakyatnya. Napoli meraih Scudetto Serie A untuk kali keempat dan Antonio Conte kembali membuktikan bahwa dia spesialis keajaiban satu musim.
Di Como, Inter menatap kosong ke arah tribune. Mereka sudah memberikan segalanya, tapi nasib menempatkan mereka satu poin terlalu jauh. Mereka menang dua gol tanpa balas, tapi itu tak berarti apa-apa di klasemen.
Kemenangan yang tak bisa dirayakan adalah kekalahan yang paling menyakitkan. Nerazzurri menyelesaikan musim sebagai tim terbaik kedua, di saat hanya yang pertama yang akan dikenang.
Conte, Keajaiban, dan Takhta yang Direbut Kembali
Tak ada yang lebih simbolis dari Conte meraih Scudetto dengan mengalahkan mantan klubnya. Dia tidak berada di pinggir lapangan, tapi tangannya terasa dalam tiap gerakan Napoli. Dalam satu musim, dia membangun tim yang tidak hanya menang, tapi juga percaya diri.
Napoli bukan favorit di awal musim. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka menjadi mesin kemenangan yang tak bisa dihentikan. Cagliari adalah ujian terakhir dan Napoli melewatinya dengan kepala tegak.
Conte, sang arsitek, kembali mencatatkan kisah ajaib dalam portofolio kariernya. Dia datang, dia melihat, dia menaklukkan—dan kini, Napoli kembali berada di singgasana.