Liputan6.com, Jakarta Final Liga Champions 2025 antara PSG dan Inter Milan berubah jadi tontonan yang sulit dipercaya. Dalam laga yang seharusnya prestisius, publik malah disuguhi dominasi yang nyaris tidak manusiawi.
PSG menghajar Inter 5-0 dan mencetak sejarah sebagai juara dengan margin terbesar sepanjang final Liga Champions. Kemenangan ini juga menjadikan klub milik negara kedua yang berhasil menggenggam trofi si Kuping Besar.
Namun di balik kegemilangan tersebut, muncul pertanyaan yang lebih dalam: Apakah sepak bola masih tentang permainan, atau telah berubah jadi pertunjukan kekuasaan global?
Kemenangan PSG yang Mengguncang Sejarah
PSG tampil seperti raksasa yang tak tersentuh di final kali ini. Tim asuhan Luis Enrique begitu superior sejak menit pertama, hingga membuat Inter tampak seperti peserta undangan.
Gol demi gol tercipta dengan mudah, dimulai dari Hakimi pada menit ke-12, lalu disusul brace dari wonderkid Desire Doue. Bahkan Khvicha Kvaratskhelia mencetak gol keempat dengan cara yang menegaskan statusnya sebagai bintang masa kini.
Senny Mayulu menutup pesta lima gol yang tak memberi ruang sedikit pun bagi Inter untuk bernapas. Final ini terasa seperti latihan tak seimbang, bukan pertarungan dua raksasa Eropa.
Luis Enrique dan Proyek Ambisius PSG
Kemenangan ini menjadi mahkota kedua Luis Enrique di Liga Champions, sekaligus mempersembahkan treble kedua dalam kariernya. Ia membentuk tim yang bukan hanya efektif, tapi juga elegan secara taktik dan emosional.
Enrique membawa sentuhan personal dalam kemenangan ini. Ia merancang momen kemenangan dengan mengenang mendiang putrinya, Xana, sebuah gestur yang menggugah simpati publik sepak bola dunia.
Selain itu, keberhasilan para pemain muda seperti Doue dan Mayulu menunjukkan bahwa proyek jangka panjang PSG mulai membuahkan hasil. Tim ini tidak hanya mahal, tapi juga visioner.
Inter Milan Kalah Telak, tapi Bukan Tanpa Konteks
Inter Milan datang dengan pengalaman dan sejarah panjang di Liga Champions. Tapi malam itu, segala hal yang membentuk kejayaan mereka lenyap di bawah sorotan Paris yang membara.
Masalahnya bukan sekadar taktik Simone Inzaghi yang kurang cermat. Lebih dari itu, jarak kualitas fisik, stamina, dan intensitas membuat Inter tertinggal jauh sejak menit awal.
Nama-nama seperti Mkhitaryan dan Darmian, yang sempat bersinar kembali di bawah Inzaghi, terlihat kehabisan bensin. Lautaro Martinez pun gagal memberi kontribusi berarti dalam momen yang seharusnya jadi panggung besarnya.
Jurang Finansial yang Menelan Kompetisi
Ada fakta mencolok yang tak bisa diabaikan: Gaji tahunan PSG bahkan melebihi total pendapatan Inter dalam setahun. Ketimpangan finansial ini mencerminkan bagaimana Liga Champions makin condong ke satu arah.
Inter bukan klub kecil—mereka pernah tiga kali menjuarai kompetisi ini dan berada di jajaran 15 besar klub terkaya dunia. Namun di era kekuasaan negara dalam sepak bola, status itu seperti tak lagi relevan.
PSG, dengan dukungan penuh dari Qatar, memanfaatkan keunggulan uang untuk merekrut talenta muda termahal dan membentuk liga domestik yang nyaris tanpa kompetitor. Hasilnya terlihat jelas di final.
Jangan salah, skuad PSG sekarang memang dipenuhi pemain muda, tapi bukan berarti harga beli dan gaji mereka murah.
PSG Menawan Tapi Mengusik Nurani
Ironisnya, permainan PSG sangat memanjakan mata. Pola serangan mereka cair, cepat, dan brilian secara teknis—sesuatu yang membuat para pecinta bola sulit berpaling.
Namun di sisi lain, keindahan itu terasa seperti layar penutup bagi krisis identitas sepak bola modern. Pertanyaan mendasar tentang arah olahraga ini pun makin sulit dihindari.
Ketika laga puncak berubah menjadi simbol ketimpangan, sulit untuk tak bertanya: Apakah ini puncak dari pencapaian olahraga, atau hanya selebrasi kekuasaan dalam balutan jersey dan stadion megah?