Liputan6.com, Jakarta - Plt. Ketua Dewan Komisioner LPS, Didik Madiyono, menyoroti pentingnya belajar dari pengalaman krisis ekonomi di masa lalu. Ia menyinggung bagaimana Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa juga pernah mengulas kesalahan kebijakan fiskal maupun moneter saat krisis.
"Pandangan dari Bapak Menteri Keuangan yang kemarin saya juga ikuti di YouTube-nya selama 24 menit, mengkritisi atau mempelajari kesalahan-kesalahan kebijakan moneter atau fiskal di masa lalu pada saat terjadinya krisis," kata Didik dalam acara Great Lecture, di Jakarta, Kamis (11/9/2025).
Menurutnya, refleksi semacam itu menjadi bekal penting agar pemerintah dan otoritas keuangan tidak terjebak pada kesalahan yang sama. Kesadaran akan kelemahan masa lalu bisa menjadi dasar perbaikan kebijakan yang lebih tepat dan berkelanjutan.
Didik menegaskan, sebagai bagian dari Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), LPS memiliki peran strategis dalam menopang kebijakan pemerintah. LPS menjamin simpanan nasabah di perbankan, sehingga masyarakat tidak kehilangan kepercayaan terhadap sistem keuangan, baik dalam kondisi normal maupun di tengah gejolak.
"Hal yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana peran LPS dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan," ujarnya.
Peran LPS ke Depan
Didik juga menggarisbawahi bahwa ke depan, peran LPS semakin meluas. Pada 2028, LPS akan diberi mandat baru untuk menjamin polis asuransi sekaligus melaksanakan resolusi perusahaan asuransi. Oleh karena itu, menurut Didik, koordinasi dengan Kementerian Keuangan dipandang tidak bisa ditawar.
"LPS adalah lembaga yang diberi mandat untuk menjamin simpanan nasabah perbankan, sekaligus melaksanakan resolusi bank. Nanti di tahun 2028, mandat itu ditambah untuk menjamin polis asuransi, termasuk melaksanakan resolusi dari perusahaan asuransi yang ritel," ujarnya.
Menkeu Purbaya Soroti Perbedaan Ekonomi Era SBY dan Jokowi
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa, menyoroti perbedaan kinerja ekonomi nasional pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi). Ia juga membandingkannya dengan era Prabowo Subianto.
Menurutnya, hal itu didukung pertumbuhan uang beredar yang rata-rata mencapai 17% lebih, sehingga kredit perbankan tumbuh hingga 22%.
"Zaman Pak SBY, ekonomi tumbuh 6%. Zaman Jokowi, rata-rata 5% atau di bawah. Jika Anda lihat dari pertumbuhan uang, berdasarkan teori dasar moneter, di zaman Pak SBY, rata-rata tumbuh 17% lebih. Akibatnya, uang di sistem cukup dan kredit tumbuh 22%," kata Purbaya dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, di Jakarta, Rabu (10/9/2025).
Pertumbuhan Uang Beredar
Meski di zaman Presiden SBY pembangunan infrastruktur tidak besar-besaran seperti saat ini, Purbaya menilai sektor swasta kala itu lebih hidup dan berkontribusi nyata dalam mendorong perekonomian. Dampaknya, tax ratio di era SBY juga lebih baik.
Berbeda dengan masa Jokowi, Purbaya menyebut pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya sekitar 5% atau di bawah capaian era SBY. Menurutnya, kondisi itu dipengaruhi rendahnya pertumbuhan uang beredar yang rata-rata hanya 7%, bahkan sempat 0% dalam dua tahun sebelum krisis.