Liputan6.com, Jakarta Napoli resmi menutup Serie A 2024/25 dengan gemilang. Mereka meraih Scudetto usai menang 2-0 atas Cagliari di pekan terakhir. Dua gol dari Scott McTominay dan Romelu Lukaku mengunci kemenangan di Stadio Diego Armando Maradona.
Meski Inter Milan juga menang 2-0 atas tuan rumah Como, hasil itu tak cukup menggeser posisi Napoli. Il Partenopei tetap finis di puncak klasemen dengan keunggulan satu poin atas sang juara bertahan. Gelar ini menjadi penebusan atas musim sebelumnya yang penuh kekecewaan.
Namun, cerita kemenangan ini tak sekadar soal angka di klasemen. Di balik selebrasi dan sorak sorai, ada pelajaran penting dari seorang Lukaku. Sebuah kenangan masa kecil yang membentuk mental juara dalam dirinya.
Pelajaran dari Manchester United vs Bayern Munchen di Final Liga Champions 1999
Saat Napoli sudah unggul 2-0 dan waktu hampir habis, suasana di bangku cadangan mulai menghangat. Namun, Lukaku justru meminta rekan-rekannya untuk menahan diri. Dia merasa selebrasi belum waktunya dilakukan.
"Saya bilang ke teman-teman, kami harus menunggu, karena waktu kecil saya menonton final Liga Champions ketika Manchester United mengalahkan Bayern Munchen. Sejak saat itu, saya belajar bahwa pertandingan belum selesai sampai wasit meniup peluit," ujar Lukaku kepada DAZN, seperti dikutip Football Italia.
Final yang dimaksud Lukaku adalah laga legendaris 1999. Saat itu Bayern unggul 1-0 hingga injury time, tapi dua gol dramatis dari MU membalikkan keadaan. Kisah itu menancap dalam ingatannya sebagai pengingat bahwa apa pun bisa terjadi di detik terakhir.
Lukaku: Emosi, Tim, dan Rasa Percaya
Usai laga, Lukaku tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Gelar ini terasa spesial bukan hanya karena kesuksesan, tetapi juga karena kerja keras seluruh tim sepanjang musim. Dia mengakui bahwa perjalanan ini penuh tantangan.
"Saya merasakan begitu banyak emosi saat ini. Saya terharu untuk tim dan para pemain. Kami bekerja sangat keras dan akhirnya kami melakukannya. Itu yang paling penting," ungkap penyerang Belgia itu.
Dia menekankan bahwa gelar ini bukan soal dirinya, melainkan kekompakan kolektif. "Kami semua menang. Saya hanya bagian kecil dari tim ini. Kami hanya memikirkan tim, semua orang penting, entah dia bermain reguler atau tidak. Itu yang membuat kami bisa juara."
Kepercayaan pada Proyek dan Mimpi Besar di Napoli
Lukaku sejak awal sudah yakin dengan proyek yang dijalankan pelatih Antonio Conte. Dia merasa Napoli punya potensi besar sejak awal musim. Baginya, kunci kesuksesan ada pada kematangan tim dan momen penting di tengah musim.
"Saya tahu kemampuan pelatih dan sejak awal merasa kami bisa melakukan hal besar. Kami membuktikan kematangan, menunjukkan peningkatan, dan setelah laga kandang melawan Inter, saya berpikir kami benar-benar punya peluang besar juara."
Lukaku kini menjadi bagian penting dari generasi emas Napoli. Rekornya bersama Conte pun luar biasa, dengan torehan 78 gol dan 27 assist dalam 133 pertandingan bersama. Kombinasi itu menjadi pondasi penting di balik kebangkitan klub.
Isu transfer pun mulai mengemuka. Napoli kabarnya ingin merekrut Kevin De Bruyne yang kontraknya habis bersama Manchester City. Saat ditanya soal ini, Lukaku hanya tersenyum dan berkata, “Tidak ada komentar.”
Pertandingan Belum Usai Sampai Benar-benar Usai
Scudetto yang diraih Napoli tahun ini, Scudetto keempat mereka, adalah kisah kolektif yang ditulis dengan determinasi dan kesabaran. Namun, di balik kemenangan itu, ada satu momen kecil yang menjelaskan banyak hal: seorang Lukaku yang duduk di bangku cadangan dan berkata, “Tunggu dulu.”
Dalam dunia yang begitu tergesa-gesa merayakan kemenangan, Lukaku justru memberi pelajaran klasik: pertandingan belum usai sampai benar-benar usai. Dari Napoli, kita belajar bahwa sabar, percaya, dan kerja keras adalah tiga kata yang tak pernah ketinggalan zaman.