Liputan6.com, Jakarta - "We've seen it all," tulis salah satu spanduk yang dipajang suporter Manchester United di tribune San Mames, Bilbao, Spanyol pada final Liga Europa, 21 Mei 2025 malam waktu setempat.
Well, sepertinya pendukung Setan Merah belum melihat semuanya. Penampilan kurang semangat membuat pasukan Ruben Amorim tumbang 0-1 akibat gol tunggal Brennan Johnson di menit ke-42.
Hasil tersebut membuat Manchester United gagal merebut trofi musim ini, sekaligus urung tampil pada Liga Champions pada kampanye berikutnya. Namun, tidak seperti paceklik-paceklik sebelumnya, yang kerap terjadi menyusul pensiunnya manajer legendaris Sir Alex Ferguson pada 2013, rapor kali ini terasa lebih menohok.
Pasalnya, MU terdampar di peringkat 16 klasemen Liga Inggris. Mereka sudah 19 kali tumbang dalam 37 pertandingan dan maksimal mencapai urutan 14. Namun, tidak tertutup peluang MU menutup petualangan di posisi lebih rendah, tergantung pertandingan putaran terakhir.
Manchester United sedikit beruntung ada tiga tim yang jauh lebih jelek sehingga tidak tersedot ke zona merah. Leicester City, Ipswich Town, dan Southampton 'mengambil' status itu dari mereka.
Tidak perlu diragukan, 2024/2025 merupakan kampanye terburuk MU sejak terdegradasi pada 1973/1974. Bruno Fernandes dan kawan-kawan begitu rapuh sampai ditaklukkan Tottenham empat kali dalam semusim, tiga di antaranya gagal mencetak gol. Tapi yang lebih sulit diterima, kekalahan ini diberikan tim yang juga juga menyandang status terjelek sepanjang sejarah klub dan satu tingkat di bawah mereka pada klasemen Premier League.
"Jelas sekali, musim ini adalah bencana. Kami harus melihat diri kami sekarang dan mencari cara untuk berkembang. Banyak hal yang perlu kami ubah, baik dari segi perilaku setiap hari maupun standar kerja yang harus lebih tinggi," tegas bek MU Diogo Dalot.
"Kami akan mengevaluasi diri saat libur nanti untuk menganalisis semuanya. Saya yakin klub juga akan menganalisis hal-hal yang perlu diubah dan melakukan perubahan itu. Sebagai pemain, kami harus melihat ke diri sendiri dan mencari tahu apa yang bisa kami lakukan lebih baik setiap hari."
"Harapan terhadap kami selalu tinggi, tetapi musim ini jauh dari apa yang pantas didapatkan klub ini. Kami menerima tanggung jawab itu karena kami yang bermain di lapangan," sambungnya.
Lalu, mengapa Manchester United bisa berada di titik serendah ini?
Busuknya Situasi Internal Manchester United
Apa yang terjadi sekarang merupakan akumulasi pengambilalihan oleh Keluarga Glazer 20 tahun lalu. Namun, tidak seperti seperti Roman Abramovich (Chelsea) atau Sheikh Mansour bin Zayed bin Sultan Al Nahyan (Manchester City) yang menggunakan kekayaan pribadi untuk memiliki klub Inggris, serta kemudian menanam investasi besar demi mendongkrak kualitas tim, Keluarga Glazer meminjam 800 juta poundsterling untuk menguasai MU dan membebankan mayoritas kepada klub.
Manchester United, yang tadinya bebas utang dan kerap menempati urutan teratas daftar klub terkaya versi Forbes, terjerat beban finansial mencapai 540 juta poundsterling plus bunga antara 7-20 persen. Di sisi lain, Keluarga Glazer rutin menarik deviden hasil pendapatan klub demi memperkaya kocek pribadi, membuat pendukung begitu muak dengan mereka. The Independent melaporkan, utang Setan Merah saat ini sudah melebihi satu miliar poundsterling.
Waktu berjalan, Setan Merah masih berada di papan atas dafar klub terkaya berkat kekuatan komersial yang dibangun sebelumnya. Apalagi kinerja di lapangan tetap cemerlang, dicapai berkat sentuhan magis Ferguson yang sukses mengatasi munculnya ancaman-ancaman baru dari Chelsea pimpinan Abramovich atau Manchester City arahan Sheik Mansour.
Namun, Manchester United tidak bisa lagi bersembunyi ketika Ferguson mundur. Nakhoda sekaliber Louis van Gaal dan Jose Mourinho sampai gagal mengembalikan kejayaan tim.
Kondisi diperparah kebijakan sporadis manajemen dalam membangun skuad. Mereka tidak ragu mengeluarkan banyak uang transfer demi merekrut muka anyar dan mengganjarnya dengan gaji tinggi.
Begitu sang pemain tidak berkontribusi, mereka kesulitan melepas karena klub peminat tidak mampu menyamai upah selangit tersebut, walau MU sudah memberi diskon harga jual dan rela merugi.
Tidak hanya pemain, langkah manajemen dalam memilih manajer juga layak dipertanyakan. Begitu David Moyes, Van Gaal, dan Mourinho gagal berbuah progres signifikan, manajemen memberi jabatan kepada Ole Gunnar Solskjaer menyusul performa bagus saat berstatus caretaker.
Kinerja MU langsung turun saat Solskjaer yang minim pengalaman diangkat permanen. Sebagai gantinya mereka berpaling ke Erik ten Hag yang bersinar dengan filosofi Belanda di Ajax Amsterdam.
Manajemen memberi dukungan dan membebaskannya bergerak di bursa transfer, ditandai pembelian-pembelian mahal. Namun, begitu Ten Hag terlihat urung mendongrak tim, klub mundur dari rencana mengetuk palu vonis pemecatan setelah sang manajer mempersembahkan gelar Piala FA 2023/2024 berkat kemenangan mengejutkan atas Manchester City di final. Mereka justru memberinya kontrak baru dan terus menyediakan uang belanja pemain.
Tidak Ada Lagi Mimpi Indah di Old Trafford
Pada akhirnya vonis pemecatan Ten Hag tidak terelakkan pada paruh musim ini, tepatnya November 2024. Amorim lalu ditunjuk sebagai pengganti. Masalahnya, keputusan tersebut kembali mengandung risiko. Sebab, meski cemerlang di Sporting CP, tim asuhan Amorim memiliki gaya bermain yang kontras dengan Ten Hag.
Sosok asal Portugal itu pun kesulitan mengimplementasikan ide ke skuad sekarang, terbukti lewat rapor merah di Liga Inggris. Dia cuma meraih enam kemenangan di 26 laga atau 23 persen. Hasil positif itu dipetik atas tiga tim yang terdegradasi, plus Fulham dan Everton. Hanya kesuksesan mengalahkan Manchester City yang kredibel, meski capaian itu juga patut digugat mengingat labilnya sang tetangga pada musim ini.
Old Trafford yang tadinya ditakuti juga kehilangan keangkerannya. Dijuluk Theatre of Dreams karena kerap mewujudkan impian-impian indah, stadion tersebut belakangan kerap memberikan mimpi buruk bagi pemilik. MU sudah sembilan kali di kandang sendiri pada Liga Inggris musim ini.
Amorim sedikit beruntung strateginya lebih cocok pada kompetisi regional, terlihat lewat catatan delapan kemenangan dan tidak terkalahkan dalam 10 laga untuk menuju final Liga Europa. Sayang, rapor impresif ini langsung ternoda begitu MU kembali bersua tim Inggris.
Ruben Amorim Bakal Dapat Dukungan Penuh?
Agar Amorim bekerja maksimal, manajemen harus membantunya dengan menyediakan pemain baru. Artinya, klub mesti kembali belanja besar di bursa transfer, suatu hal yang tidak bisa dilakukan akibat kondisi finansial sekarang.
Di sini tanggung jawab kesalahan layak disematkan kepada Sir Jim Ratcliffe, yang memimpin operasional olahraga klub sejak menjadi investor minoritas pada akhir 2023. Ratcliffe harus menerima konsekuensi fatal karena takut mengambil langkah tidak populer sehingga terlambat memecat Ten Hag kala itu.
Padahal biliuner asal Inggris itu tidak ragu menetapkan langkah-langkah drastis lainnya, mulai pemutusan hubungan kerja massal karyawan, pembatalan acara tim, dan yang berdampak langsung pada kinerja tim yakni pembatasan belanja pemain baru.
Namun, kegagalan menjuarai Liga Europa akan membuat Ratcliffe makin mempererat ikat pinggang klub. MU kehilangan potensi pendapatan 100 juta poundsterling yang dijanjikan dari partisipasi Liga Champions.
Rencana Ratcliffe membangun stadion baru bernilai satu miliar poundsterling juga memaksa Manchester United behemat sejak sekarang.
Harapan Akan Masa Depan Cerah
Dengan siklus kegagalan dan mismanajemen yang seakan terus berulang, kans Manchester United kembali ke periode emas sepertinya tidak bakal terjadi dalam waktu dekat. Sejarah menunjukkan itu. Sebelum Ferguson mempersembahkan gelar liga pertama pada 1992/1993, kali terakhir MU merajai Inggris terjadi pada 1966/1967.
Klub tradisional Inggris lain, sekaligus sang rival abadi Liverpool, juga harus menunggu hingga 30 tahun untuk kembali menguasai Inggris.
Lalu, apakah masa depan Manchester United sungguh suram? Tidak juga. Absen di kompetisi Eropa musim depan, yang berarti lowongnya kalender pertandingan, memberi waktu bagi Amorim untuk melatih skuad MU menerapkan taktik yang berbuah prestasi di Sporting CP.
Ada banyak contoh kasus pelatih yang diuntungkan dengan situasi ini. Antonio Conte membawa Juventus (2011/2012) dan Chelsea (2016/2017) menjuarai liga. Capaian itu diraihnya saat kedua tim yang ditanganinya tersebut tidak ikut ajang regional. Conte bisa menambah daftar suksesnya jika Napoli merebut Scudetto musim ini.
Jurgen Klopp turut merasakan dampak positif kondisi serupa. Meski Liverpool cuma menduduki urutan empat pada 2016/2017 saat tidak ambil bagian kompetisi Eropa, dia dapat menerapkan strategi ke tim sebagai landasan untuk membukukan prestasi di musim-musim berikutnya.
Amorim pun mengetahui berkah terselubung dari hilangnya tiket Eropa dan berniat memanfaatkannya. "Kami punya lebih banyak waktu untuk berpokir dan bekerja keras, untuk tampil lebih baik lagi di Liga Inggris. Itu jadi fokus kami," ungkapnya.
Memang tidak realistis jika beranggapan Amorim bakal membawa Manchester United juara Liga Inggris musim depan. Namun, sepak bola kerap menghadirkan cerita-cerita di luar nalar. Fans Manchester United akan berharap itu akan jadi kenyataan.