Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada pembukaan perdagangan hari ini Selasa (16/9/2025). Kurs rupiah menguat sebesar 35 poin atau 0,21 persen menjadi 16.380 per dolar AS dari sebelumnya 16.415 per dolar AS.
Sementara itu, kurs rupiah sesuai Jisdor Bank Indonesia (BI) per tanggal 15 September 2025 berada di level 16.405 per dolar AS.
Analis mata uang Doo Financial Futures Lukman Leong mengatakan penguatan nilai tukar (kurs) rupiah seiring dengan dolar Amerika Serikat (AS) yang tertekan imbas dari ekspektasi pemangkasan suku bunga acuan Bank Sentral AS The Fed.
“Nilai tukar rupiah diperkirakan akan bergerak dalam range 16.350 hingga 16.450 per dolar AS,” ujar Lukman dikutip dari Antara, Selasa (16/9/2025).
Lukman memproyeksikan nilai tukar rupiah akan bergerak menguat seiring dengan indeks dolar AS yang tertekan, imbas meningkatnya ekspektasi pemangkasan suku bunga acuan The Fed sebesar 50 basis poin (bps).
Data-data ekonomi AS mendukung untuk pemangkasan Fed Funds Rate (FFR) sebesar 50 bps, namun sebagian besar konsensus masih memproyeksikan pemangkasan sebesar 25 bps.
The Fed mengadakan pertemuan The Federal Open Market Committee (FOMC) pada Selasa (16/9) dan Rabu (17/9) pekan ini, untuk memutuskan kebijakan FFR.
BI Rate
Dari dalam negeri, Lukman berharap Bank Indonesia (BI) dapat mempertahankan BI-Rate di level 5,00 persen, sebagai upaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
BI menyelenggarakan Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Selasa dan Rabu (17/9), dan keputusan terkait BI-Rate akan diumumkan pada besok.
“BI sendiri diharapkan akan mempertahankan suku bunga saat ini untuk menjaga stabilitas rupiah,” ujar Lukman.
Di sisi lain, Pemerintah RI telah meluncurkan paket stimulus ekonomi 8+4+5, yang terdiri atas 8 program akselerasi tahun 2025, 4 program pemerintah yang dilanjutkan pada 2026, dan 5 program penyerapan tenaga kerja. Untuk tahun 2025, terdapat delapan program akselerasi dengan total anggaran senilai Rp16.23 triliun.
Modal Asing Rp 14,24 Triliun Hengkang dari Indonesia
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mencatat modal asing mengalir keluar pada pekan kedua September 2025. Sepanjang 2025, tercatat masih banyak modal asing yang keluar dari Indonesia.
Direktur Eksekutif Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso menjelaskan, berdasarkan data transaksi 8 – 11 September 2025, nonresiden tercatat jual neto sebesar Rp 14,24 triliun.
"Nonresiden tercatat jual neto sebesar Rp 14,24 triliun, terdiri dari jual neto sebesar Rp 2,22 triliun di pasar saham, Rp5,45 triliun di pasar SBN, dan Rp 6,57 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).,” kata Ramdan, dikutip Minggu (14/9/2025).
Ramdan menambahkan, selama tahun 2025, berdasarkan data setelmen sampai dengan 11 September 2025, nonresiden tercatat jual neto sebesar Rp 54,33 triliun di pasar saham dan Rp 117,72 triliun di SRBI, serta beli neto sebesar Rp 58,94 triliun di pasar SBN.
"Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait serta mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk mendukung ketahanan eksternal ekonomi Indonesia," jelas Ramdan.
Adapun premi CDS Indonesia 5 tahun per 11 September 2025 sebesar 69,04 bps, turun dibanding dengan 4 September 2025 sebesar 69,55 bps. Rupiah dibuka pada level (bid) Rp16.425 per dolar AS dan Yield SBN 10 tahun turun ke 6,33%
Dana Asing Keluar dari Pasar Modal Indonesia Rp 50,95 Triliun, Analis Ungkap Penyebabnya
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan investor asing telah mencatatkan aksi jual atau nett sell di pasar saham Indonesia dengan nilai mencapai Rp 50,95 triliun sejak awal 2025
Terkait hal ini, penggiat Pasar Modal Indonesia, Reydi Octa, menilai aksi jual yang dilakukan investor asing di pasar saham sepanjang 2025 lebih banyak dipengaruhi faktor eksternal ketimbang kondisi dalam negeri.
"Aksi jual asing dari awal tahun 2025 ini lebih dipicu oleh faktor eksternal ketimbang kondisi domestik. Kenaikan suku bunga global, khususnya AS, buat pasar modal di sana lebih menarik. Ditambah ketidakpastian geopolitik, seperti tensi perang timur tengah yang tereskalasi, ancaman perang tarif AS dan Cina, potensi perang dagang dan perlambatan ekonomi membuat investor enggan berinvestasi di Indonesia," jelas Reydi kepada Liputan6.com, Kamis (4/9/2025).