Liputan6.com, Jakarta Son Heung-Min sudah menjalani satu dekade bersama Tottenham. Dia telah melewati masa-masa naik turun, menjadi kapten, dan memenangkan hati publik London Utara. Namun, ada satu hal yang masih belum berhasil dia raih: trofi juara.
“Saya sudah meraih segalanya dalam sepuluh tahun di Tottenham, kecuali satu hal,” ujar kapten Spurs itu, seperti dilansir UEFA.com. Kini, harapan itu tertuju pada final Liga Europa menghadapi Manchester United. Partai puncak akan digelar di San Mames, Bilbao, pada Kamis, 22 Mei 2025, pukul 02.00 WIB.
Son bukan hanya simbol kesetiaan, tapi juga kualitas. Meski sempat berbagi panggung dengan pencetak gol terbanyak klub, Harry Kane, Son tiga kali dinobatkan sebagai Pemain Terbaik Tottenham. Itu menandakan betapa vital kontribusinya sepanjang waktu.
Menjadi Wajah Korea di Eropa
Son tidak hanya membawa nama Tottenham, tapi juga mewakili Korea Selatan di kancah Eropa. Dia memikul tanggung jawab itu dengan bangga dan penuh kesadaran. “Saya sangat bersyukur terlahir sebagai orang Korea,” katanya.
Keinginannya sejak lama adalah menampilkan citra terbaik sebagai atlet Korea. “Saya ingin menunjukkan bahwa ada atlet Korea yang hebat seperti saya,” ujarnya. Dia juga mengaku banyak terinspirasi dari para pendahulunya di Eropa.
“Cha Bum-Kun, Park Ji-Sung, Lee Young-Pyo, Ki Sung-Yueng, dan Lee Chung-Yong membuka jalan dengan sangat baik dan indah,” ucapnya. Son merasa terhormat bisa disandingkan dengan mereka. “Saya sedikit malu dibandingkan dengan Cha dan yang lain, tapi bagi saya, bisa disebut bersama mereka adalah sebuah kehormatan besar.”
Luka yang Belum Sembuh Sejak Final 2019
Final Liga Champions 2019 masih menyisakan luka bagi Son. Saat itu, Tottenham takluk dari Liverpool di Madrid. “Saya rasa tak akan mudah menebus kekecewaan itu,” ungkapnya.
Meski berbeda kompetisi, dia merasa kesempatan ini bisa menjadi ajang penebusan. “Kami akan bermain dengan pola pikir yang lebih kuat kali ini. Kami pasti belajar dari kekalahan itu,” katanya yakin.
Melihat lawan mengangkat trofi adalah hal yang menyakitkan. “Sangat menyakitkan melihat tim lain memegang trofi, mendapat ucapan selamat, dan kami hanya bisa menyaksikannya,” tuturnya. “Itu sulit secara mental karena saya sangat benci kalah.”
Di Tengah Musim Buruk Tottenham
Perjalanan Tottenham di liga musim ini memang tak mulus. Namun, Son memilih untuk melihat sisi positif. “Memang benar kami tidak tampil baik di liga, tapi kalau kami terus menganggap musim ini buruk, kami tak akan bisa mencapai final Liga Europa,” katanya.
Dia percaya kerja keraslah yang membawa mereka ke titik ini. “Kami sampai di final karena kerja keras yang kami lakukan membuahkan hasil,” ujarnya. Dia menambahkan bahwa fokus utamanya adalah memberi kontribusi terbaik untuk tim di setiap pertandingan.
“Saya selalu berusaha memberikan segalanya di setiap laga dan menjaga ritme permainan,” katanya. Ketika permainan tidak berjalan sesuai rencana, dia merenung dan mencoba bangkit lewat latihan mental dan visualisasi. “Itu sangat membantu saya tampil konsisten.”
Tentang Lawan di Final: Manchester United
Laga kontra MU di final akan jadi ujian berat, tapi Son memilih untuk tetap percaya diri. “Kami selalu menghormati lawan, tapi yang penting adalah melakukan apa yang harus kami lakukan,” ucapnya.
Dia yakin kalau MU juga akan datang dengan semangat tinggi. “Pasti akan jadi laga hebat, tapi juga laga yang sulit. Namun, saya pikir kami lebih menginginkannya,” ujar pemain berusia 32 tahun itu.
Mimpi itu masih sama: mengangkat trofi untuk pertama kali bersama Tottenham. “Saya telah bekerja keras demi menebus kekurangan itu dan selalu bermimpi mengangkat trofi dengan seragam Tottenham,” katanya. “Saya berharap kami bisa mewujudkan mimpi itu.”
Sumber: UEFA.com