5 Alasan PSG Bakal Bungkam Inter Milan di Final Liga Champions: Statistik hingga Keberuntungan Memihak Paris

2 days ago 8

Liputan6.com, Jakarta PSG memiliki peluang besar untuk meraih trofi juara Liga Champions pertama mereka. PSG akan berhadapan dengan Inter Milan dalam partai final di Allianz Arena, Munchen, MInggu (1/6/2025) dini hari WIB nanti.

Ini menjadi pertemuan perdana kedua tim di ajang Liga Champions, sekaligus final kedua sepanjang sejarah yang mempertemukan klub asal Prancis dan Italia—setelah Marseille menaklukkan AC Milan 1-0 di final 1993 yang juga digelar di Munich.

PSG kembali ke final untuk pertama kalinya sejak kekalahan dari Bayern München pada 2020. Sementara Inter, yang terakhir kali mengangkat trofi pada 2010, ingin menebus kegagalan tahun lalu saat dikalahkan Manchester City. Di bawah asuhan Luis Enrique dan Simone Inzaghi, dua tim ini tampil dengan pendekatan yang sangat berbeda sepanjang musim.

Perjalanan PSG menuju final penuh drama. Mereka terseok-seok di fase grup, tapi bangkit dengan tiga kemenangan beruntun. Setelah menghajar Brest 10-0 di babak play-off, PSG secara mengejutkan menyingkirkan Liverpool lewat adu penalti, sebelum menundukkan Aston Villa dan Arsenal.

Inter tampil lebih konsisten sejak awal, hanya kalah satu kali di fase grup. Mereka mengatasi perlawanan Feyenoord dan Bayern München sebelum akhirnya melewati laga penuh ketegangan melawan Barcelona dengan agregat 7-6 di semifinal.

Bagi PSG, ini menjadi final Liga Champions kedua mereka dan menegaskan status mereka sebagai salah satu kekuatan baru Eropa. Inter, dengan tujuh kali tampil di final, membuktikan diri sebagai raksasa lama yang belum habis. Pertarungan di Munchen ini menjanjikan duel sarat emosi antara pengalaman dan ambisi.

Berikut lima alasan mengapa PSG patut dipercaya bisa mencetak sejarah baru.

PSG yang Telah Berubah Total

Awal musim Liga Champions ini nyaris jadi mimpi buruk bagi PSG. Sempat terancam tersingkir sejak Januari, mereka kini justru menjelma menjadi tim yang penuh percaya diri dan taktis.

Di bawah kendali Luis Enrique, PSG menunjukkan wajah baru yang lebih disiplin, kompak, dan tajam.

Salah satu titik balik penting adalah saat mereka bangkit melawan Manchester City, menciptakan comeback dramatis yang menegaskan mentalitas baru tim. Jauh dari sekadar 'tim bertabur bintang', PSG kini adalah unit yang matang dan terorganisir.

Statistik Final di Munchen Berpihak pada Debutan Juara

Menariknya, sejarah tampak berpihak kepada PSG. Dalam empat final Liga Champions terakhir yang digelar di Munchen, semua pemenangnya adalah klub yang meraih gelar pertamanya.

Contohnya? Nottingham Forest (1979), Borussia Dortmund (1997), Chelsea (2012), dan Marseille (1993)—yang juga menghadapi klub asal Milan.

Pola sejarah ini seolah memberi isyarat bahwa tahun ini bisa menjadi 'giliran' PSG.

Musim Penuh 'Pecah Telur' di Sepak Bola Eropa

Musim ini seolah penuh dengan cerita menghapus kutukan. Tottenham akhirnya meraih trofi pertama sejak 2008. Harry Kane mengangkat gelar profesional pertamanya.

Crystal Palace mencetak sejarah dengan gelar pertama mereka. Bologna bahkan mematahkan penantian 51 tahun akan trofi.

Dengan pola “pecah telur” yang berulang di berbagai klub, PSG mungkin hanya tinggal menunggu giliran untuk merayakan momen serupa.

Serangan Mematikan PSG

PSG bukan hanya tim yang kokoh di lini belakang, mereka juga luar biasa menakutkan di lini depan. Trio Khvicha Kvaratskhelia, Ousmane Dembele, dan Warren Zaïre-Emery (atau Barcola) menjadi mesin serangan yang sangat dinamis dan eksplosif.

Ousmane Dembele bahkan mulai disebut-sebut sebagai kandidat Ballon d’Or berkat performa konsistennya. Kehadiran Kvaratskhelia, sang bintang asal Georgia, juga telah membawa dimensi baru bagi serangan Paris.

Yang menarik, gol-gol PSG tidak hanya datang dari penyerang. Dalam kemenangan atas Arsenal, hanya satu dari tiga gol dicetak oleh pemain depan—sisanya dari gelandang Fabian Ruiz dan bek sayap Achraf Hakimi. Ini menandakan bahwa ancaman bisa datang dari segala penjuru.

Bek Sayap yang Menjadi Senjata Rahasia

Dua nama yang layak mendapat sorotan khusus adalah Nuno Mendes dan Achraf Hakimi. Bek sayap ini bukan sekadar bertahan, tapi aktif membantu serangan dengan overlap cepat dan umpan-umpan cerdas yang merepotkan lawan.

Kombinasi mereka dengan winger seperti Barcola atau Kvaratskhelia menciptakan kelebihan jumlah di sisi sayap yang sulit diatasi. Inter Milan harus benar-benar fokus sepanjang laga, karena satu kesalahan kecil dari Federico Dimarco atau Denzel Dumfries bisa menjadi celah fatal.

Tak hanya menyerang, PSG juga dikenal dengan pressing agresif mereka ketika kehilangan bola, serta kemampuan full-back untuk segera kembali bertahan. Hal ini bisa mempersulit fase penguasaan bola Inter, yang biasanya sangat rapi.

Read Entire Article
Bisnis | Football |