Liputan6.com, Jakarta Antonio Conte seperti punya kebiasaan unik: datang, juara, lalu pergi. Ini bukan kejutan bagi yang mengikuti kariernya sejak Juventus hingga Inter Milan. Kini, di Napoli, pola lama itu mulai terlihat.
Musim hampir usai dan Napoli tinggal selangkah lagi mengunci gelar Serie A. Di tengah persiapan pesta, justru muncul bayang-bayang perpisahan dari sang pelatih.
Conte tampaknya lebih nyaman sebagai sosok underdog yang mengejutkan dunia. Namun, narasi itu terasa menyesatkan, apalagi jika melihat konteks sebenarnya di Napoli.
Conte: Satu Musim, Satu Cerita Pahlawan
Conte tampaknya senang memosisikan dirinya sebagai penyelamat. Dia menggambarkan Napoli seolah tim kecil yang tak punya harapan sebelum dia datang. Padahal, dua tahun lalu mereka menjuarai Serie A dengan dominasi luar biasa.
Musim lalu yang buruk bukanlah cerminan kekuatan sesungguhnya Napoli. Banyak pemain dari skuad juara 2023 masih ada dan berperan penting musim ini. Conte memilih menyoroti kegagalan singkat, bukan fondasi kuat yang sudah ada.
Luciano Spalletti memutus puasa gelar 30 tahun Napoli dan kota ini merayakannya sepanjang tahun. Namun, Conte bersikap seolah semua itu tak pernah terjadi—membangun mitos pribadi bahwa keberhasilan ini murni dari tangannya sendiri.
Retorika Conte yang Meremehkan Identitas Napoli
Conte dikenal dengan gaya bicara merendah, tapi penuh kesan menyindir. Dia bilang Napoli hanya menargetkan zona Eropa, padahal semua tahu mereka membidik Scudetto sejak awal musim.
Investasi besar dilakukan: Lukaku, McTominay, Buongiorno, Gilmour. Dengan skuad ini dan tanpa gangguan Eropa, Napoli jelas disiapkan untuk gelar, bukan sekadar bersaing.
Melabei gelar ini 'bersejarah' seakan Napoli tak punya sejarah besar. Ini bukan klub promosi yang naik daun. Ini klub juara bertahan dua musim lalu. Retorika Conte justru meremehkan identitas Napoli sendiri.
Ciri Khas Conte: Mengeluh Tanpa Mengaku Mengeluh
Satu lagi ciri khas Conte adalah mengeluh tanpa mengaku mengeluh. Dia berkali-kali menuding cedera sebagai kendala utama, tapi tak membuka opsi rotasi yang sehat.
Mathias Olivera dipaksa bermain di posisi bek tengah, sementara Rafa Marin tak diberi menit bermain. Raspadori baru diberi kesempatan setelah Neres cedera, bukan karena pertimbangan taktis.
Conte membangun narasi “kami tak pernah mengeluh” sambil terus mengeluh soal kedalaman skuad. Dalam kenyataannya, itu adalah hasil dari pilihannya sendiri yang kaku dan minim kompromi.
Bagi Conte, Kemenangan Bukan Untuk Diteruskan
Bagi Conte, keberhasilan adalah titik akhir, bukan awal baru. Setelah meraih gelar, dia tak pernah tertarik membangun dinasti. Dia justu buru-buru angkat kaki sebelum ekspektasi meningkat.
Hubungannya dengan Aurelio De Laurentiis memang tegang, tapi itu bukan alasan utama. Conte lebih takut kehilangan status sebagai penantang daripada gagal mempertahankan dominasi.
Musim panas nanti, besar kemungkinan dia akan pamit dari Napoli, lalu mencari klub lain yang sedang terpuruk. Itu supaya dia bisa kembali memainkan peran favoritnya sebagai pahlawan dadakan yang tak pernah diberi cukup waktu.
Sumber: Football Italia