Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mencermati wacana kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang berencana melakukan impor BBM satu pintu oleh Pertamina.
Menurut dia, wacana impor BBM satu pintu ini bakal mengembalikan tata kelola di sektor hilir, dari liberalisasi kembali kepada kebijakan satu arah oleh pemerintah.
"Perusahaan asing awalnya bersedia investasi di SPBU karena tata kelolanya liberal. Perusahaan asing bebas mendirikan SPBU di seluruh wilayah Indonesia, bebas melakukan pengadaan BBM sesuai kuota ditetapkan, bebas dalam menetapkan harga jual ke konsumen sesuai mekanisme pasar," kata Fahmy dalam keterangan tertulis, Senin (15/9/2025).
Dengan pengadaan impor BBM satu pintu, Fahmy menekankan, SPBU swasta tidak lagi bebas dalam pengadaan impor BBM.
"Padahal, salah satu sumber margin SPBU asing adalah pengadaan impor BBM yang punya kebebasan dalam menentukan negara impor dengan harga yang paling murah, dan melakukan efisensi biaya pengadaan impor BBM," serunya.
Dalam Impor BBM satu pintu, ia menilai SPBU swasta tidak dapat lagi impor dengan harga yang paling murah, namun harus membeli BBM dari Pertamina dengan harga ditetapkan oleh Pertamina.
"Dalam kondisi tersebut, margin SPBU asing akan semakin kecil, bahkan pada saatnya SPBU asing akan merugi. Dengan kerugian yang berkelanjutan, tidak menutup kemungkinan SPBU asing akan tumbang hingga menutup SPBU," tegas Fahmy.
"Pada saat seluruh SPBU asing hengkang dari Indonesia, pada saat itulah tata kelola migas hilir dimonopoli oleh Pertamina. Hengkangnya SPBU asing akan berdampak terhadap iklim investasi di Indonesia, tidak hanya investasi sektor migas saja, tetapi juga investasi sektor bisnis lainnya," tuturnya.
Imbas Kekosongan Stok SPBU Swasta
Sebelumnya, Kementerian ESDM akan melakukan sinkronisasi data pasokan BBM di SPBU milik Pertamina dan swasta. Guna memitigasi kekosongan stok BBM di SPBU swasta, seperti milik Shell Indonesia dan BP AKR dalam waktu dekat ini.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengatakan, lewat sinkronisasi data tersebut, pemerintah bakal mengkonsolidasikan secara kumulatif berapa kebutuhan impor bagi Pertamina maupun SPBU swasta. Untuk kemudian dilakukan impor BBM demi menutup kekurangan.
"Jadi kita antara SPBU swasta dengan Pertamina, ini kan kita konsolidasikan berapa kebutuhan impor. Jadi untuk kebutuhan yang disampaikan data sementara 1,4 juta kiloliter," jelas Yuliot di Kantor Kementerian ESDM beberapa waktu lalu.
Sinkronisasi Data
Lewat sinkronisasi data, Kementerian ESDM bakal menelisik berapa kebutuhan kuota impor BBM yang diperlukan oleh masing-masing badan usaha. Yuliot pun meminta tiap badan usaha merinci kekurangan stok BBM di tempatnya, untuk kemudian dilakukan impor lewat satu pintu oleh Pertamina.
"Ini data-datanya itu kita minta detailkan. Karena itu nanti proses impornya akan dilakukan satu pintu," pinta Yuliot.
"Jadi jangan sampai apa yang sudah diberikan itu tidak mencukupi, ada permasalahan-permasalahan dalam implementasinya," dia menegaskan.
Menyeimbangkan Neraca Dagang dengan AS
Lebih lanjut, Yuliot mengutarakan, kebutuhan impor BBM 1,4 juta KL tersebut bakal diselaraskan dengan perjanjian dagang antara Indonesia dengan Amerika Serikat (AS). Seperti diketahui, Indonesia telah sepakat untuk menyeimbangkan neraca perdagangan dengan Negeri Paman Sam.
"Jadi dengan kebutuhan tadi, ya kan kita juga ada komitmen juga kan. Ini impor dalam rangka pemenuhan komitmen trade balance kita dengan Amerika," kata dia.
"Jadi ini ya kita juga, karena bukan saja ini keinginan pemerintah, tetapi ada komitmen kita juga dengan tiap klien," ujar Yuliot.
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan BBM di dalam negeri, Kementerian ESDM membebaskan Pertamina untuk membeli minyak dari berbagai perusahaan asal Amerika Serikat.
"Itu tinggal kesepakatan yang melakukan pengadaan harus perusahaan AS. Ini kan ada beberapa perusahaan AS, misalnya ExxonMobil," ungkap dia.
"Kemudian Chevron, itu kan merupakan AS. Jadi dari manapun mereka melakukan pengadaan, itu terserah. Tetapi ini dicatatkan sebagai trade balance kita dengan Amerika," tutur Yuliot.