Liputan6.com, Jakarta Anderson Luis de Abreu Oliveira pernah berada di puncak dunia. Namanya melejit saat berseragam Manchester United, bahkan digadang-gadang sebagai 'The Next Ronaldinho'. Dibeli dari Porto saat masih remaja, harapan besar melekat padanya.
Namun, harapan hanyalah permulaan. Karier Anderson di Old Trafford yang penuh suka cita tak berakhir dengan kisah manis. Ia menjadi sosok yang dicintai fans, bukan karena prestasi luar biasa, tapi karena energi positif dan tingkah lakunya yang menghibur.
Setelah hengkang dari Manchester United, jalan hidup Anderson justru dipenuhi masalah. Kariernya merosot drastis dan kehidupan pribadinya terus dihantui kontroversi hingga hari ini.
Kilau Singkat di Old Trafford
Anderson tiba di Manchester United pada 2007 dengan banderol £27 juta (sekitar Rp570 miliar) dan segudang ekspektasi. Gelar Golden Boy yang diraihnya saat masih di Porto menjadi bukti betapa tinggi potensi yang ia miliki.
Musim pertamanya merupakan puncak pencapaian. Ia bermain 38 kali, mengangkat trofi Liga Inggris dan Liga Champions, bahkan mencetak penalti krusial di final melawan Chelsea di Moskow. Namun, setelah itu, performanya mulai meredup.
Masalah kebugaran dan kedisiplinan mulai menghantui. Mantan rekan setimnya, Rafael, mengenang, “Kami bisa berada di bus tim dan melewati rest area, dan Anderson akan spontan berdiri dan berteriak, ‘McDonald's, McDonald's’. Tak heran performa terbaiknya justru saat ia bermain banyak laga karena saat itu dia tak sempat makan terlalu banyak.”
Dibayangi Cedera dan Gaya Hidup Buruk
Tak hanya pola hidup, insiden kecelakaan mobil pada 2010 di Portugal juga memperburuk nasibnya. Anderson selamat dari mobil yang meledak beberapa saat setelah kecelakaan, tapi dampak mental dan fisiknya cukup besar.
Rio Ferdinand, legenda United, juga menyayangkan minimnya dedikasi Anderson. “Anderson adalah pemain yang kadang membuat saya frustrasi. Ia punya bakat luar biasa, tapi tidak menerapkannya sebaik mungkin. Kalau ia lebih serius, mungkin ia takkan sering cedera,” ungkapnya.
Anderson jadi contoh klasik pemain berbakat yang gagal mengatur hidup di tengah sorotan. Padahal, secara teknis, ia punya segala yang dibutuhkan untuk jadi pemain top dunia.
Pulang ke Brasil, tapi Tak Membaik
Setelah masa peminjaman singkat di Fiorentina, Anderson kembali ke Brasil dengan harapan membangun ulang kariernya. Namun, lagi-lagi, masalah lama membayang. Berat badannya naik signifikan, kebugarannya menurun drastis.
Salah satu momen paling mengkhawatirkan terjadi di Internacional. Dalam satu pertandingan, ia harus mengenakan masker oksigen di bangku cadangan setelah ditarik keluar karena kelelahan. Perhatian publik pun tak terelakkan.
Setelah beberapa musim yang mengecewakan, termasuk masa pinjaman ke Coritiba, ia kembali ke Eropa dan bergabung dengan Adana Demirspor. Namun, dia hanya tampil 15 kali, dan gantung sepatu di usia 31.
Masalah Tak Usai di Luar Lapangan
Pensiun tak membuat hidup Anderson lebih tenang. Pada 2021, ia dituduh terlibat dalam skema penipuan kripto senilai £4,7 juta (sekitar Rp99 miliar). Namanya masuk dalam penyelidikan kasus pencurian, penipuan, dan pencucian uang.
Anderson membantah tuduhan tersebut. Namun, kasus itu menambah daftar panjang masalah yang membelitnya sejak gantung sepatu. Nasib hukumnya hingga kini belum diketahui secara pasti.
Tak berhenti di situ. Pada 2024, surat perintah penahanan dikeluarkan karena Anderson gagal membayar tunjangan anak senilai £45.000 (sekitar Rp950 juta). Ia diancam hukuman 30 hari penjara jika tak melunasi di tengah kewajibannya sebagai ayah dari sembilan anak.
Akhir yang Jauh dari Gemilang
Kini, Anderson masih berkutat di dunia sepak bola, bekerja sebagai asisten pelatih tim muda Adana Demirspor di Turki. Namun, pekerjaannya tak sepenuhnya bisa menutupi bayang-bayang masa lalu.
Kisah Anderson menjadi pengingat keras bahwa bakat saja tak cukup di dunia sepak bola. Disiplin, dedikasi, dan profesionalisme tetap kunci utama untuk bertahan di level atas.
Ia pernah berada di puncak dunia, mencium trofi Liga Champions dan dielu-elukan oleh puluhan ribu fans. Namun, perjalanan hidupnya menunjukkan bahwa jatuh dari puncak bisa terjadi secepat naik ke sana—terutama ketika semua potensi tak dijaga.
Sumber: GiveMeSport