Ngotot Filosofi Bermain Tanpa Hasil? Ruben Amorim Harus Dengar Saran Jose Mourinho!

2 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta Jose Mourinho baru-baru ini kembali melontarkan kritik pedas soal pelatih modern. Dalam wawancaranya dengan Canal 11, media milik Federasi Sepak Bola Portugal, ia menyindir banyak manajer yang lebih memilih untuk "mati demi ide" mereka, daripada beradaptasi demi meraih kemenangan.

Meskipun tidak menyebutkan nama, komentar Mourinho secara langsung mengingatkan pada sejumlah kasus yang terjadi di sepak bola Eropa. Ia melihat adanya perbedaan mencolok antara pelatih pragmatis yang mengutamakan trofi dengan pelatih "penyair" yang lebih fokus pada gaya permainan.

Pernyataan ini seolah mengulang kutipan terkenalnya pada 2017 setelah membawa Manchester United menjuarai Liga Europa. Kala itu, Mourinho menyebut ada banyak "penyair di sepak bola" yang permainannya indah, namun jarang mengangkat piala.

Fenomena ini menjadi semakin relevan dengan sorotan yang kini mengarah pada pelatih-pelatih seperti Ruben Amorim di Manchester United, Ange Postecoglou di Tottenham, dan Andrea Pirlo di Juventus. Dari sinilah, perdebatan tentang filosofi, hasil, dan fleksibilitas kembali muncul.

Mourinho: Kritik Terhadap Pelatih yang Mati Demi Ide

Mourinho berpendapat bahwa era sepak bola modern terlalu mengagungkan filosofi dibandingkan hasil akhir. Dengan tegas ia menyatakan, "Kalau kamu mati karena ide, kamu bodoh." Baginya, kemenangan tetap menjadi tolak ukur utama, bukan sekadar cara bermain.

Komentarnya tersebut menyentil realitas di mana banyak pelatih bersikeras mempertahankan gaya main mereka meski tidak lagi efektif. Ruben Amorim, sebagai contoh, tetap teguh dengan sistem 3-4-3 di United meskipun timnya minim kemenangan. Begitu pula dengan Ange Postecoglou, yang menolak mengubah garis pertahanan tinggi Spurs meski taktik tersebut berulang kali membawa kerugian.

Andrea Pirlo bahkan pernah mengaku lebih suka kalah dengan 90 persen penguasaan bola ketimbang harus bertahan total. Di sisi lain, Russell Martin juga menegaskan bahwa ia rela dipecat asalkan tetap setia pada gaya mainnya. Semua contoh ini sesuai dengan apa yang Mourinho sebut "definisi kebodohan", meskipun mereka jelas bukan pelatih bodoh.

Filosofi vs Realita: Guardiola Hingga Postecoglou

Filosofi sepak bola memang bisa mendongkrak reputasi seorang pelatih. Pep Guardiola, misalnya, memperkenalkan pendekatan baru di Inggris sejak 2016. Kini, banyak tim di Premier League bahkan divisi di bawahnya mengadopsi gaya build-up dari belakang ala Manchester City.

Namun, bahkan Guardiola pun melakukan penyesuaian. Dalam periode sulit di Manchester City, ia tetap mempertahankan prinsip dasarnya, tetapi menambahkan unsur transisi dan fleksibilitas untuk menjaga hasil. Demikian pula dengan Postecoglou, yang awalnya kaku, akhirnya harus menjadi lebih pragmatis ketika ia membawa Spurs menjuarai Liga Europa.

Pada kenyataannya, fleksibilitas adalah kunci. Luis Enrique sempat menerima banyak kritik karena filosofi ekstremnya di PSG, tetapi kegigihannya yang disertai sedikit modifikasi pada akhirnya membawa keberhasilan di musim lalu. Ini menunjukkan bahwa bahkan pelatih "penyair" pun bisa meraih kemenangan bila mereka tahu kapan harus beradaptasi.

Kasus Ruben Amorim: Filosofi yang Menjadi Beban

Di Manchester United, Ruben Amorim menghadapi dilema yang serupa. Skema tiga bek yang sukses ia terapkan di Sporting CP justru menemui kegagalan total di Premier League. Dalam 42 pertandingan liga terakhir, United tercatat hanya melakukan tujuh kali perubahan formasi, jumlah yang paling rendah dibandingkan tim lain.

Keras kepala Amorim membuat publik bingung. Bahkan saat United tertinggal, ia jarang mengubah formasi timnya untuk mengejar gol. Data statistik dari Opta menunjukkan hasil yang sangat minim: hanya enam kemenangan di Premier League dalam sembilan bulan, dan sebagian besar diraih dari tim papan bawah.

Masalahnya bukan hanya terletak pada skema tiga bek, tetapi pada keengganannya untuk beradaptasi. Premier League menuntut fleksibilitas tinggi, terutama dengan semakin dominannya tren serangan balik cepat. Di sinilah kelemahan Amorim terlihat jelas, yaitu terlalu kaku pada "filosofi" tanpa adanya ruang untuk improvisasi.

Adaptasi, Bukan Sekadar Ide

Pelajaran dari semua ini adalah bahwa filosofi hanyalah titik awal. Setiap pelatih memang membutuhkan sebuah visi, tetapi visi tersebut tidak boleh menjadi batasan. Tanpa kemampuan adaptasi, sebuah filosofi bisa berubah menjadi jebakan.

Mourinho sendiri mengaku sebagai pelatih pragmatis, namun rekam jejaknya dalam satu dekade terakhir juga menunjukkan jalan buntu. Ia sering dipecat meski berpegang pada pendekatan lama. Sebaliknya, Guardiola tetap menjadi contoh nyata bahwa adaptasi dalam kerangka filosofi yang kuat dapat menghasilkan dominasi jangka panjang.

Pada akhirnya, sepak bola modern adalah tentang bertahan hidup. Pelatih yang mampu menyeimbangkan antara ide dan hasil memiliki peluang lebih besar untuk meraih kesuksesan. Seperti kata Mourinho, "Mati demi ide itu bodoh," tetapi hidup tanpa ide juga bukan sebuah solusi.

Read Entire Article
Bisnis | Football |