PSG: Bayangan Lisbon di Bawah Langit Kota Munchen

3 months ago 52

Liputan6.com, Jakarta Paris Saint-Germain (PSG) bersiap menghadapi Inter Milan di Allianz Arena pada final Liga Champions musim 2024/2025. Pertandingan puncak ini dijadwalkan digelar pada Minggu dini hari, 1 Juni 2025, pukul 02.00 WIB, dan menjadi kesempatan emas bagi PSG untuk menuliskan sejarah baru.

Lawan mereka bukan tim sembarangan. Inter datang sebagai wakil Serie A yang solid dan penuh pengalaman. Namun, bagi PSG, laga ini lebih dari sekadar duel memperebutkan trofi—ini adalah kesempatan menuntaskan luka masa lalu.

Lima tahun lalu, PSG menginjakkan kaki di Lisbon, tempat segalanya pernah patah. Kali ini, bukan di Lisbon yang sunyi, melainkan di Munchen yang bakal disaksikan langsung puluhan ribu pasang mata. Namun, bayangan final 2020 masih menyelimuti.

Lisbon: Mimpi yang Retak di Tengah Pandemi

Musim panas 2020 adalah musim yang sunyi, tapi penuh harapan bagi PSG. Saat dunia terkurung pandemi, mereka justru melangkah ke final Liga Champions untuk pertama kalinya dalam sejarah klub.

Dipimpin Thomas Tuchel, PSG membawa ambisi dan deretan bintang ke Estadio da Luz. Mereka punya Neymar, Mbappe, dan Di Maria. Mereka punya mimpi yang terasa begitu dekat: trofi Eropa pertama untuk klub ibu kota Prancis itu.

Namun, malam itu hanya meninggalkan duka. Kingsley Coman, jebolan akademi PSG sendiri, mencetak satu-satunya gol untuk Bayern Munchen. Skor 1-0 yang menghancurkan harapan dan menambah babak pahit dalam buku sejarah klub.

PSG: Luka yang Tak Pernah Hilang

Final di Lisbon bukan sekadar kekalahan, tapi luka yang membekas dalam. PSG tampil penuh semangat, menciptakan peluang, dan mendominasi sebagian permainan. Namun, seperti sering terjadi di sepak bola, bukan yang paling atraktif yang menang.

Keylor Navas kembali tampil luar biasa, Neymar dan Mbappe punya momen emas, tapi semuanya mentok pada sosok Manuel Neuer dan kegagalan eksekusi. Ketika Coman mencetak gol di menit ke-59, semua jadi gelap.

Tak ada selebrasi di ruang ganti PSG. Hanya kesunyian dan air mata. Sejak malam itu, setiap langkah mereka di Liga Champions terasa berat, seolah ada bayangan Lisbon yang selalu mengikuti dari belakang.

Munchen: Menjemput Takdir dengan Wajah Baru

Lima tahun berlalu, PSG kembali di final, dan kali ini bersama pelatih Luis Enrique. Mereka datang ke Allianz Arena, markas dari tim yang membuat mereka menangis di Lisbon. Mereka kali ini membawa wajah yang berbeda: lebih sabar, lebih seimbang, dan lebih matang.

Tak ada lagi ketergantungan mutlak pada sosok megabintang. Kini, mereka mengandalkan kerja tim, kedisiplinan, dan kecerdasan taktik. Fabian Ruiz mengatur tempo dari lini tengah, Hakimi jadi ancaman konstan dari sisi sayap, dan Donnarumma menjelma tembok yang sulit ditembus.

PSG hari ini adalah hasil dari pembelajaran panjang. Bukan lagi tim glamor yang mudah goyah, melainkan skuad dengan karakter juara. Mereka datang bukan hanya untuk bermain, tapi untuk menebus masa lalu.

Final yang Menjawab Segalanya

Pertandingan melawan Inter bukan sekadar laga penutup musim. Ini adalah momen di mana sejarah dan trauma bertemu di titik yang sama. Kemenangan bisa menghapus semua luka, kekalahan bisa memperdalamnya.

Jika PSG menang, nama mereka akan tercetak di piala yang selama ini hanya mereka impikan. Bukan lagi bayangan juara, tapi kenyataan yang bisa dirayakan di Paris. Itu akan menjadi titik balik dari perjalanan panjang yang berliku.

Namun, jika kalah, mereka harus kembali memulai dari awal, kali ini dengan beban dua kegagalan final dalam lima tahun. Bagi para pemain serta suporter, luka Lisbon akan mendapatkan temannya—Munchen.

Read Entire Article
Bisnis | Football |