Liputan6.com, Jakarta AC Milan punya sejarah panjang tentang kesetiaan dan kejayaan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Salah satu cerita paling ikonik adalah keluarga Maldini. Dari Cesare ke Paolo, lalu ke Daniel, nama belakang itu seolah tertulis abadi di dinding San Siro.
Cesare Maldini adalah pilar awal. Ia membela Rossoneri sejak 1954 hingga 1966, dan kelak jadi kapten sekaligus pelatih. Putranya, Paolo Maldini, menyempurnakan warisan itu dengan setia membela panji Rossoneri selama 25 tahun penuh trofi dan penghormatan.
Namun, ketika tiba giliran Daniel Maldini, legacy itu berubah menjadi beban yang sangat berat. Sang cucu dari Cesare dan anak dari Paolo justru terseok-seok menjaga marwah keluarga Maldini di Milan.
Satu Nama, Tiga Perjalanan
Daniel Maldini sejatinya sudah bersentuhan dengan Milan sejak kecil. Ia masuk akademi klub pada 2010 dan tampil menjanjikan di level muda, termasuk saat membawa Milan juara nasional U-16 dengan kemenangan 5-2 atas Lazio.
Debut seniornya datang pada laga pramusim 2019 melawan Bayern Munchen. Tak lama, ia mencatat debut resmi Serie A saat menghadapi Hellas Verona pada Februari 2020. Ia bahkan mencetak gol perdananya untuk Milan dalam kemenangan 2-1 atas Spezia, September 2021.
Pencapaian terbesar Daniel bersama Milan datang pada 22 Mei 2022 ketika ia ikut dalam skuad yang menjuarai Serie A. Namun, dari 13 penampilan musim itu, total menit bermainnya cuma 239. Ia tidak pernah benar-benar menjadi bagian inti.
Dipinjamkan dan Terlupakan
Ketika sulit bersaing di San Siro, Milan meminjamkan Daniel ke Spezia pada musim 2022/23. Ironisnya, gol Serie A pertamanya musim itu justru ia cetak ke gawang Milan. Ia juga mencetak gol kemenangan atas Inter Milan, menjadi bagian dari sejarah Spezia.
Musim berikutnya, Daniel dipinjamkan ke Empoli. Tak ada banyak cerita. Setelah itu, pada Januari 2024, ia hijrah lagi ke Monza. Di sana, ia tampil lebih baik, mencetak empat gol dari 11 laga. Performa itu cukup meyakinkan Monza untuk mempermanenkannya pada Juli 2024.
Namun, kepindahan permanen itu hanya bertahan setengah musim. Pada Februari 2025, Atalanta merekrut Daniel dengan nilai transfer yang dilaporkan mencapai €13 juta (sekitar Rp227 miliar), termasuk bonus. Milan, tempat darahnya mengalir, telah sepenuhnya ditinggalkan.
Berbeda Posisi, Berbeda Nasib
Berbeda dari Cesare dan Paolo yang dikenal sebagai tembok pertahanan, Daniel justru berkembang sebagai gelandang serang. Ia dikenal punya visi, kontrol bola, dan kreativitas dalam membangun serangan. Namun, gaya itu belum cukup membuatnya bersinar di klub sebesar Milan.
Daniel tak pernah benar-benar mendapatkan tempat. Ketika Milan terus membangun ulang skuad dan berburu pemain bintang, ruang untuk pemain muda seperti dirinya mengecil. Status sebagai “Maldini” bahkkan tidak cukup menjadi jaminan.
Nama belakang itu tentu membawa tekanan, tapi juga kebanggaan. Dia ingin menunjukkan dirinya sendiri, bukan hanya sebagai anak dari Paolo atau cucu dari Cesare. Itu terasa jujur, tapi juga menyiratkan beban yang terus mengikutinya.
Akhir yang Jauh dari Cerita Dongeng
Daniel memang mencatat sejarah sebagai generasi ketiga Maldini yang bermain untuk AC Milan. Namun, tidak seperti Cesare dan Paolo yang menjabat sebagai kapten klub, Daniel tidak pernah menjadi simbol utama. Ia datang dan pergi begitu cepat.
Nama besar tak selalu sebanding dengan perjalanan karier. Daniel mungkin berbakat, tapi ketika harus bersaing dalam sistem dan ekspektasi klub sebesar Milan, ia tidak mampu menyaingi sejarah yang diciptakan kakek dan ayahnya.
Kini, di Atalanta, Daniel mencoba menata ulang arah kariernya. Jejaknya di Milan hanya akan jadi catatan singkat dalam sejarah panjang keluarga Maldini. Ini warisan yang berat, sedangkan langkah Daniel belum mampu menyamainya.