Liputan6.com, Jakarta PSG pernah dikenal sebagai tim bertabur bintang, tapi gagal bicara banyak di Eropa. Kini, tim asal ibu kota Prancis itu hadir dengan wajah baru yang lebih kolektif dan tangguh. Di balik perubahan ini, ada sosok pelatih yang tenang namun revolusioner: Luis Enrique.
Mantan pelatih Barcelona ini datang pada musim panas 2023 dengan membawa misi besar. Ia tak hanya diminta mengakhiri kutukan Liga Champions, tapi juga mengubah DNA tim yang terlalu bergantung pada nama besar. Hasilnya? PSG tampil lebih rapi, lebih muda, dan jauh lebih menakutkan secara kolektif.
Luis Enrique menyuntikkan filosofi baru yang berbasis pada kerja sama dan intensitas tinggi. PSG tak lagi bermain demi satu bintang, melainkan untuk satu tujuan bersama. Perjalanan mereka menuju final Liga Champions musim 2024/2025 menjadi bukti sahih perubahan itu.
PSG Mengakhiri Obsesi, Membangun Tim
Luis Enrique langsung menegaskan bahwa obsesi bukanlah cara membangun juara. Ia menyebut ambisi boleh, tapi jika sudah berubah jadi obsesi, hasilnya cenderung kontraproduktif. Pernyataan itu terasa sebagai tamparan halus bagi PSG yang selama ini terlalu terobsesi dengan trofi Liga Champions.
Sejak kegagalan final 2020 yang menyakitkan, PSG terus berganti pelatih dan merekrut pemain-pemain bintang. Namun, nama-nama besar seperti Messi, Neymar, hingga Ramos justru gagal memberikan keseimbangan. Klub seperti terjebak dalam ilusi bahwa popularitas bisa menggantikan proses membangun tim.
Luis Enrique menghapus ilusi itu sejak hari pertama. Ia membuang sejumlah pemain senior dan merekrut 13 pemain muda, sebagian besar berusia di bawah 26 tahun. Filosofinya sederhana: beli pemain muda, berkualitas, dan jika bisa, yang berpaspor Prancis.
Evolusi Taktikal: Dari Kekacauan ke Keseimbangan
PSG dulu dikenal sebagai tim bertabur talenta ofensif, tapi lemah dalam bertahan. Kini, mereka menjelma sebagai tim yang kompak, disiplin, dan sangat agresif dalam menekan. Musim ini, mereka melakukan lima tekel lebih banyak per laga dibanding dua musim lalu.
Luis Enrique secara perlahan menginstal sistem pressing yang terstruktur dan efisien. Ia berani mengubah pendekatan, dari man-to-man ke skema hybrid seperti 3-2-4-1 yang sangat fungsional di laga-laga besar. Pergeseran ini membuat PSG tidak mudah ditembus, bahkan oleh tim sekelas Manchester City.
Keberhasilan ini tak lepas dari kontribusi para pemain depan yang rela bekerja keras tanpa bola. Enrique menyebut salah satu kunci utamanya adalah perubahan mentalitas para penyerang. “Mereka kini bekerja sebagai tim, dan itu sulit ditanamkan,” ujarnya di media day UEFA.
Era Baru PSG Tanpa Mbappe
Kylian Mbappe meninggalkan PSG tiga hari setelah kekalahan dari Dortmund di semifinal musim lalu. Ironisnya, kepergiannya justru membuat tim ini tumbuh lebih seimbang. Luis Enrique tak lagi bergantung pada satu sosok untuk memecah kebuntuan.
Ousmane Dembele, yang sebelumnya dikenal sebagai winger inkonsisten, muncul sebagai solusi tak terduga. Ia mencetak 33 gol musim ini, melampaui semua ekspektasi dan mengisi lubang besar yang ditinggalkan Mbappe. Permainannya yang terintegrasi dengan sistem jadi senjata baru PSG.
Kombinasi Dembele dengan Hakimi di sisi kanan menjadi motor serangan yang sulit diprediksi. Bahkan, golnya ke gawang Arsenal di semifinal identik dengan gol saat melawan Liverpool — bukti konsistensi dalam skema dan eksekusi. PSG kini menyerang sebagai unit, bukan sebagai individu.
Fondasi Baru PSG di Tengah Lapangan
Luis Enrique tak hanya mengubah lini depan dan belakang, tapi juga menyentuh jantung permainan: lini tengah. Ia menggantikan Manuel Ugarte dengan Fabian Ruiz demi menambah kekuatan fisik dan ketahanan saat ditekan. Perubahan ini membuka ruang bagi playmaker seperti Vitinha untuk berkembang.
Kedatangan Joao Neves dari Benfica menambah dimensi baru dengan kemampuan distribusi bola dan keseimbangan. Musim ini, jumlah umpan terobosan PSG meningkat, dan mereka tak lagi terlalu bergantung pada crossing. Gaya mainnya lebih vertikal dan cepat.
Kvaratskhelia yang datang di Januari juga membawa perbedaan signifikan. Keahliannya dalam membawa bola memaksa lawan menggandakan penjagaan, membuka ruang untuk pemain lain. Efek domino ini memberi keuntungan besar, terutama dalam laga-laga Eropa di mana ruang sempit sangat menentukan.
Ketika Akhir yang Sempurna Dimulai di Munchen
Final Liga Champions musim ini digelar di Munchen — tempat di mana PSG terakhir kali gagal angkat trofi setelah kalah dari Bayern. Tapi kali ini, mereka datang dengan identitas baru, bukan sekadar tim dengan ambisi mahal. Ini adalah PSG yang dibangun dengan proses, bukan popularitas.
Hanya Marquinhos dan Kimpembe yang tersisa dari skuad 2020. Bahkan dari 11 pemain yang tampil di laga pertama Liga Champions di bawah Luis Enrique, hanya lima yang masih reguler. Proses regenerasi yang cepat tapi terukur menjadi kunci perubahan wajah PSG.
Presiden klub, Nasser Al-Khelaifi, menyebutnya sebagai “perubahan budaya” dan memperpanjang kontrak Enrique hingga 2027. Pelatih asal Spanyol itu menjawab diplomatis soal peluang juara. “Kami sampai sejauh ini dengan cara bermain kami sendiri. Sekarang tinggal melanjutkan itu untuk mewujudkan mimpi,” ujarnya.