Liputan6.com, Jakarta Tottenham akhirnya memutus penantian panjang 17 tahun tanpa trofi dengan cara yang tidak biasa. Di tengah keterpurukan di Premier League, mereka justru bersinar di Eropa. Final Liga Europa 2024/25 di Bilbao menjadi puncak kisah kebangkitan mereka.
Gol Brennan Johnson yang berbau keberuntungan cukup untuk menundukkan Manchester United 1-0 di San Mames. Ini adalah sebuah kemenangan yang tak hanya membawa trofi, tapi juga tiket ke Liga Champions. Di musim penuh luka, Tottenham menyimpan satu kisah manis untuk dikenang.
Ini adalah gelar Eropa pertama Tottenham sejak 1984. Trofi ini merupakan bentuk pembuktian dari kerja keras dan keyakinan yang tak pernah padam. Mereka tak juara berkat dominasi—mereka juara berkat keteguhan.
Dari Qarabag ke Elfsborg: Awal Petualangan Tottenham di Fase Liga
Tottenham memulai kiprah Liga Europa mereka dengan mulus saat menghajar Qarabag 3-0 di London. Kemenangan 2-1 di markas Ferencvaros semakin menambah rasa percaya diri. Namun, tantangan mulai terasa saat Galatasaray mengalahkan mereka 3-2 di Istanbul.
Hasil imbang melawan Roma dan Rangers menunjukkan betapa ketatnya fase liga. Namun, kemenangan atas Hoffenheim dan Elfsborg jadi kunci Spurs bisa finis keempat dan melangkah ke fase gugur. Delapan laga dengan 5 kemenangan, 2 hasil imbang, dan hanya 1 kekalahan menjadi modal berharga.
Meski belum sempurna, mereka mulai menemukan keseimbangan. Brennan Johnson dan Dominic Solanke perlahan menunjukkan ketajaman, sementara Pedro Porro jadi motor serangan dari sisi kanan. Petualangan mereka baru saja dimulai.
Drama di Fase Gugur: Tottenham Lolos dengan Keraguan
Di babak 16 besar, Tottenham nyaris tersingkir oleh AZ Alkmaar. Kekalahan 0-1 di leg pertama membuat tekanan meningkat. Namun, di kandang, mereka bangkit dan menang 3-1 untuk melaju dengan agregat tipis 3-2.
Perempat final melawan Eintracht Frankfurt juga tak kalah mendebarkan. Setelah hasil imbang 1-1 di kandang, mereka mencuri kemenangan 1-0 di Jerman lewat permainan disiplin. Di semifinal, mereka tampil lebih meyakinkan dengan agregat 5-1 atas Bodo/Glimt.
Fase gugur ini menjadi ujian mental bagi skuad Ange Postecoglou. Meski jarang menang besar, mereka selalu menemukan cara untuk bertahan hidup. Setiap kemenangan pun membuat kepercayaan diri tim makin tumbuh.
Final yang Berantakan, tapi Bermakna
Final di San Mames jauh dari kata indah. Permainan berjalan keras, lambat, dan nyaris tanpa kombinasi memukau. Namun, yang dibutuhkan Tottenham hanyalah satu momen.
Di menit ke-42, umpan silang Pape Sarr mengacaukan lini belakang MU. Bola sempat mengenai Luke Shaw dan Brennan Johnson sebelum masuk ke gawang. Onana tak bergerak dan Spurs unggul dengan cara yang paling sederhana.
MU mencoba bangkit, tapi pertahanan Tottenham tampil luar biasa. Van de Ven dan Vicario melakukan dua penyelamatan krusial yang menyegel kemenangan. Di malam yang jauh dari kata sempurna, Spurs meraih hasil yang sempurna.
Pembuktian Sesumbar Postecoglou
Ange Postecoglou akhirnya mendapat pengakuan yang dia cari sejak datang ke London. “Saya selalu juara di musim kedua,” katanya. Dia menepati janji itu. Gelar ini seperti jawaban atas segala kritik.
Tottenham mengakhiri musim dengan 21 kekalahan di liga, tapi justru bersinar di pentas Eropa. Kemenangan ini mengubah narasi—dari klub yang gagal jadi juara, menjadi tim yang pantas diperhitungkan. Mereka juga akan kembali ke Liga Champions.
Bagi Postecoglou, ini bisa jadi titik balik kariernya di Tottenham. Di saat posisinya mulai dipertanyakan, dia hadirkan trofi dan harapan baru. Takhta Liga Europa ini bukan hanya milik Tottenham, tapi juga milik pelatih yang tak pernah menyerah.