Periode Singkat Scolari di Chelsea dan Biang Keladi Bernama Anelka

2 months ago 23

Liputan6.com, Jakarta Luiz Felipe Scolari datang ke Chelsea dengan segudang harapan, tapi kebersamaannya bersama klub London Barat itu hanya bertahan tujuh bulan. Di bawah kepemilikan Roman Abramovich yang terkenal tidak sabar, Scolari menjadi pelatih dengan masa jabatan tersingkat. Pada Februari 2009, pria Brasil itu dipecat, dan ia menuding Nicolas Anelka sebagai biang keladinya.

Scolari bukanlah sosok sembarangan. Ia datang dengan reputasi besar sebagai pelatih yang membawa Brasil juara Piala Dunia 2002. Namun, tantangan di Premier League berbeda, sementara Chelsea saat itu tengah berada dalam transisi setelah ditinggal Avram Grant.

Grant sendiri sempat membawa The Blues ke final Liga Champions dan Piala Liga pada musim 2007/08. Sayangnya, ia juga harus angkat kaki tak lama setelah Chelsea kalah adu penalti dari Manchester United di Moskwa—laga di mana Anelka gagal menunaikan tugasnya sebagai penendang terakhir.

Anelka Menolak Main di Sayap

Salah satu titik kritis dalam masa kepemimpinan Scolari adalah saat ia mencoba memasukkan Didier Drogba ke dalam tim utama. Ia ingin Anelka, yang saat itu menjadi pencetak gol terbanyak Liga Inggris, bermain lebih melebar. Namun, respons Anelka mengejutkan.

“Saya punya Anelka sebagai penyerang utama. Nomor 9. Pencetak gol terbanyak liga,” ujar Scolari kepada ESPN Brasil, seperti dikutip talkSPORT. “Saat semua pemain kembali, saya bilang, ‘Sekarang Drogba sudah pulih setelah dua bulan, kita coba skema dengan dua penyerang, satu di tengah dan satu di sisi, bisa saling bertukar posisi.’”

Namun, rencana itu langsung dimentahkan oleh sang pemain. “Lalu Anelka, pencetak gol terbanyak liga, bilang, ‘Saya tidak main di sayap.’ Ya sudah, saya bilang, ‘Kalau begitu, kamu tidak main di sayap, salah satu dari kalian main di kiri, selesai, saya tidak mau berdebat lagi.’”

Situasi Memanas dan Pemecatan

Ketegangan di ruang ganti semakin menjadi-jadi. Saat itu, tim asuhan Scolari masih berada di posisi ketiga klasemen dan hanya terpaut tiga atau empat poin dari puncak—tepatnya tujuh poin dari Manchester United. Namun, suasana tim sudah memburuk.

“Saya keluar dari sana saat kami ada di posisi ketiga klasemen, tiga atau empat poin dari puncak,” kata Scolari. “Kami juga lolos ke babak 16 besar Liga Champions. Namun, ada suasana yang tidak enak, situasi itu.”

Ia juga menyanggah isu bahwa keterbatasan bahasa menjadi penyebab utama kegagalannya. “Mereka bilang, ‘Karena Anda tidak bisa bahasa Inggris dengan sempurna.’ Tentu saja tidak. Saya tidak bicara Inggris dengan sempurna,” ungkapnya. “Namun, saya mengerti dengan baik. Dengan bahasa Inggris saya dan bahasa Inggris yang digunakan di sana, kami saling mengerti.”

Setelah Scolari, Datang Hiddink

Guus Hiddink kemudian datang sebagai penyelamat sementara. Dalam 22 pertandingan, ia membawa Chelsea meraih 16 kemenangan, finis di posisi ketiga klasemen, dan memenangkan Piala FA. Pendekatannya terhadap Anelka dan Drogba sangat berbeda dari Scolari.

Hiddink justru memilih memainkan keduanya bersama-sama. Chelsea kadang bermain dengan formasi 4-4-2 dengan dua penyerang sejajar, atau 4-3-3 dengan Anelka di sisi kanan. Hasilnya langsung terasa: Anelka mencetak gol dalam empat laga terakhir Premier League dan merebut Sepatu Emas, satu-satunya sepanjang kariernya.

Duet itu berlanjut di musim berikutnya di bawah asuhan Carlo Ancelotti. Chelsea sukses meraih gelar ganda—Premier League dan Piala FA. Anelka dimainkan di berbagai posisi di lini depan, sementara Drogba tetap menjadi ujung tombak utama.

Scolari Tak Pernah Kembali ke Eropa

Meski Chelsea bangkit dan meraih kesuksesan besar, nasib Scolari berbeda. Ia tidak pernah lagi melatih klub Eropa setelah kegagalan singkatnya di Stamford Bridge. Pengalamannya bersama Anelka menjadi pelajaran berharga, meski pahit.

Bagi Chelsea, kepergian Scolari membuka jalan bagi pelatih-pelatih yang lebih fleksibel dan bisa mengelola ego bintang-bintang besar. Namun, bagi Scolari, periode tersebut tetap menyisakan penyesalan. “Saya tidak tahu kalau saya bertahan, apa yang akan terjadi, tapi semuanya terhenti, dan itu membuat saya kesal,” tutupnya.

Kini, cerita tentang Scolari dan Anelka menjadi salah satu babak menarik dalam sejarah panjang Chelsea. Ini kisah tentang ego, strategi, dan betapa pentingnya komunikasi dalam sepak bola di level tertinggi.

Sumber: ESPN Brasil, talkSPORT

Read Entire Article
Bisnis | Football |