Pressing vs Possession: Siapa Penguasa Sejati Final Liga Champions 2025?

3 months ago 12

Liputan6.com, Jakarta Pressing telah menjadi obsesi sepak bola modern, seolah menjadi syarat utama untuk jadi juara. Namun, final Liga Champions 2025 antara PSG dan Inter Milan menunjukkan arah berbeda: Kualitas teknis jadi penentu utama.

Kedua finalis memang mampu menekan lawan dengan intensitas tinggi, tapi justru kemampuan mereka dalam menguasai bola yang lebih mencolok. Final ini bukan sekadar adu stamina, tapi duel para gelandang jenius yang lebih suka mengontrol bola ketimbang mengejarnya.

Ketika pertandingan besar biasanya ditentukan oleh siapa yang paling agresif, laga ini berpotensi mengubah narasi. Kita tak lagi bicara siapa paling cepat merebut bola, tapi siapa paling pintar menggunakannya.

Evolusi Pressing: Dari Senjata Utama Menjadi Sekadar Pelengkap

Selama satu dekade terakhir, pressing mendominasi diskursus taktik sepak bola. Kecepatan berlari dan agresivitas dianggap sebagai kualitas wajib, bahkan lebih penting dari skill olah bola.

Namun, ketika pemain dipilih karena daya lari alih-alih kemampuan menguasai bola, sepak bola kehilangan daya tarik estetisnya. Apa jadinya jika bintang dunia lebih senang saat lawan menguasai bola demi bisa menekan?

Kritik Ralf Rangnick terhadap Cristiano Ronaldo jadi contoh ekstrem dari tren ini. Ronaldo dianggap tak cocok karena tak antusias menekan, padahal esensi sepak bola adalah menguasai bola, bukan sekadar merebutnya.

PSG: Pressing Cerdik dan Lini Tengah Bertalenta

PSG era baru tidak lagi mengandalkan trio non-defensif seperti Messi, Neymar, dan Mbappe. Kini, mereka tampil kompak, agresif, tapi juga memukau secara teknis di lini tengah.

Joao Neves merangkum filosofi mereka dengan baik: “Kami lebih baik bermain dengan bola. Cara terbaik bertahan adalah dengan membawa bola di kaki,” katanya sebelum semifinal melawan Arsenal.

Neves, Fabian Ruiz, dan Vitinha membentuk poros yang tidak hanya kuat dalam merebut bola, tetapi sangat nyaman menguasainya. Rotasi posisi mereka sering kali membuat lawan bingung membedakan siapa yang bermain sebagai regista, mezzala, atau trequartista.

Inter Milan: Harmoni Kreatif di Jantung Permainan

Inter justru tampil lebih teknikal dibanding PSG. Gelandang terdalam mereka, Hakan Calhanoglu, memulai karier sebagai playmaker klasik sebelum menjadi pengatur ritme seperti Pirlo.

Di depannya, Henrikh Mkhitaryan yang dulu dikenal sebagai pencetak gol andalan kini jadi penghubung antar lini yang lebih tenang dan berpengalaman. Pada usia 36 tahun, ia tampil seperti maestro sejati di laga-laga besar.

Nicolo Barella melengkapi trio ini dengan energi dan kecerdasan. Ia mungkin dikenal karena intensitasnya, tapi kini lebih sering membuat keputusan matang ketimbang sekadar berlari tanpa arah.

Strategi Tanpa Bola yang Berbasis Kecerdikan

Baik PSG maupun Inter tetap melakukan pressing, namun bukan pressing buta. Mereka menyesuaikan pola, kadang man-to-man, kadang zona dengan jebakan kolektif.

Uniknya, Inter jarang mengandalkan dribbling untuk membuka ruang. Sebaliknya, mereka mengedepankan passing dan rotasi posisi, bahkan melibatkan bek tengah untuk maju ke lini tengah saat membangun serangan.

Semua itu muncul sebagai respons atas tekanan tinggi dalam sepak bola modern. Ketimbang melawan pressing dengan tenaga, mereka memilih bermain dengan otak.

Final Liga Champions 2025: Adu Otak, Bukan Otot

Pressing tetap penting, tapi bukan elemen paling memesona dari laga final kali ini. Siapa pun pemenangnya, kita seharusnya fokus pada kualitas teknikal lini tengah yang menentukan ritme permainan.

PSG dengan poros Neves–Ruiz–Vitinha menawarkan harmoni antara kekuatan fisik dan flair bermain. Inter membalas dengan trio veteran cerdas: Calhanoglu, Mkhitaryan, dan Barella.

Final ini bisa menjadi titik balik bagi sepak bola modern. Saat dunia mulai lelah dengan sepak bola berbasis tekanan, para maestro lini tengah siap membuktikan: menguasai bola tetap seni tertinggi dalam permainan ini.

Read Entire Article
Bisnis | Football |