Liputan6.com, Jakarta Dua kota mode paling ikonik di Eropa akan berpadu dalam atmosfer panas final Liga Champions. Paris dan Milan bukan hanya pusat gaya hidup, tapi kini jadi pusat perhatian sepak bola dunia. PSG dan Inter Milan, dua perwakilan kota mode itu, siap berebut 'Si Kuping Besar'.
Laga pamungkas musim ini digelar di Allianz Arena, Munchen, pada Minggu dini hari, 1 Juni 2025 pukul 02.00 WIB. Final ini menandai pertemuan perdana PSG dan Inter di kompetisi resmi. Uniknya, ini baru kali kedua tim Prancis dan Italia saling berhadapan di final. Yang sebelumnya adalah ketika Marseille mengalahkan AC Milan pada 1993 – laga itu juga dimainkan di Munchen, di Olympiastadion.
Momen spesial ini membawa bobot sejarah dan emosional tersendiri bagi kedua tim. PSG ingin menghapus luka lama di Lisbon 2020, sementara Inter berambisi menebus kegagalan final Istanbul 2023. Dua kota mode, satu impian besar.
PSG: Terluka, tapi Kini Percaya Diri
PSG memulai Liga Champions musim ini dengan langkah terseok. Namun, pelan-pelan, Luis Enrique membentuk tim yang tangguh, memanfaatkan setiap peluang untuk melaju lebih jauh. Kemenangan telak 10-0 atas Brest di play-off jadi titik balik.
Setelah itu, PSG menyingkirkan Liverpool lewat drama adu penalti, lalu menaklukkan Aston Villa dan membalas Arsenal di semifinal. Tim ini bukan sekadar koleksi bintang, tapi kini lebih padu dan taktis. Mereka tercatat mencetak gol pertama di tujuh dari sembilan laga terakhir.
Marquinhos, satu-satunya pemain tersisa dari final 2020, jadi pemimpin penting di ruang ganti. Dengan lini tengah yang dinamis dan serangan mematikan, PSG tampak lebih siap dari sebelumnya. Kini, mereka benar-benar dekat dengan gelar yang paling mereka dambakan.
Inter: Tegar, Matang, dan Tak Mau Gagal Lagi
Berbeda dari PSG, Inter menjalani musim Eropa dengan stabil sejak awal. Hanya satu kekalahan ditelan di fase liga dan pertahanan mereka hampir sempurna. Simone Inzaghi membentuk tim dengan identitas kuat dan kedewasaan dalam mengelola tekanan.
Di fase gugur, Inter tampil meyakinkan. Feyenoord dilewati dengan mulus, Bayern dikalahkan tipis, dan Barcelona disingkirkan lewat laga epik 7-6. Acerbi, bek veteran, jadi simbol semangat juang Nerazzurri. Mereka juga sudah mengoleksi sepuluh kemenangan, terbanyak sepanjang sejarah klub di Eropa.
Kekalahan dari Manchester City tahun lalu masih membekas. Namun, Inter datang ke final ini dengan pelajaran yang cukup dan tekad membara. Mereka tahu betul cara bertahan, menyerang, dan mengatur ritme – senjata lengkap untuk merebut kembali mahkota Eropa.
Duel Dua Kota, Satu Trofi Bergengsi
Final ini bukan sekadar pertarungan dua klub, tapi juga duel simbolik dua ibu kota fashion dunia. Paris dengan kemewahan dan glamornya, Milan dengan sejarah dan gaya elegannya. Kini, semua itu dibawa ke atas lapangan.
PSG ingin menulis sejarah baru sebagai klub Prancis pertama yang menjuarai Liga Champions sejak Marseille 1993. Inter, sang juara tiga kali, ingin menambah koleksi dan menegaskan kebangkitan mereka di kancah Eropa. Di balik nuansa fashion, ada gengsi, kebanggaan, dan sejarah.
Munchen akan jadi saksi apakah ini tahun pembebasan Paris atau tahun kebangkitan Inter. Siapa pun yang menang, satu hal pasti: trofi Liga Champions akan pulang ke kota mode. Dunia pun akan kembali bicara, bukan soal catwalk, tapi sepak bola.