Evan Dimas dan Simfoni Sepak Bola: Filosofi Seni dari Sanggar Saraswati Tulungagung

2 months ago 11

Liputan6.com, Jakarta Ada banyak cara untuk mencintai sepak bola. Evan Dimas memilih cara yang tak biasa: ia memadukannya dengan seni. Bukan lagi sebagai pemain, akan tetapi pelatih di SSB Saraswati Tulungagung.

Kini, mantan kapten Timnas Indonesia itu tak sedang sibuk berburu gelar di lapangan hijau. Ia tengah mengabdikan dirinya untuk sebuah misi yang lebih dalam, menyemai benih-benih sepak bola di SSB Saraswati.

Tempatnya bukan sekadar sekolah sepak bola biasa. SSB Saraswati berada di bawah naungan Sanggar Seni Saraswati, sebuah ruang ekspresi budaya yang hidup dan dinamis. Sanggar ini berada di Dusun Majan, Desa Mojoarum, Kecamatan Gondang, Kabupaten Tulungagung.

Bagi Evan, sepak bola bukan hanya olahraga. Ia adalah seni gerak, koreografi, dan harmoni. SSB Saraswati kini jadi alasan mengapa sosok berusia 30 tahun mengambil jeda dari karier sebagai pemain sepak bola profesional.

Sepak Bola dan Tari: Menemukan Irama dalam Gerakan

"Saya ingin memasukkan unsur-unsur dari seni ini pada sepak bola," tutur Evan saat ditemui di sela latihan sore SSB Saraswati beberapa waktu lalu.

Sepintas, sepak bola dan seni tari terlihat seperti dua dunia yang tak berkaitan. Tapi tidak bagi Evan. Ia melihat formasi, pergerakan, dan bahkan ritme permainan sebagai sesuatu yang selaras dengan gerak tari.

"Kadang saya memperhatikan adik-adik yang sedang latihan tari di sanggar. Ternyata ada unsur-unsur yang bisa dimasukkan ke sepak bola," ucapnya.

Seperti gerakan Reog Kendang, tarian khas Tulungagung yang berputar sambil menabuh kendang. Evan melihatnya serupa dengan rondo, sebuah latihan dasar dalam sepak bola untuk mengasah kontrol dan kerjasama.

"Ketika ada lawan di tengah, kita harus keliling, bekerja sama untuk merebut bola. Itu bisa jadi inspirasi dari Reog Kendang," jelasnya.

Referensi Evan tak berhenti di situ. Ia mengutip contoh samba dari Brasil, yang juga lahir dari tarian dan melahirkan gaya main yang atraktif dan estetis. "Kalau sepak bola hanya gabruk-gabruk kasar, kan tidak enak ditonton. Tapi kalau dimasukkan unsur seni seperti formasi dan gerakannya, bisa jadi indah," kata eks kapten Timnas Indonesia itu.

Sepak Bola Adalah Seni

Ada sesuatu yang romantik dari cara Evan melihat permainan ini. Ia tidak tertarik pada sepak bola yang kaku dan penuh kekerasan. Ia menginginkan sepak bola yang mengalir seperti tarian, menyatu dalam irama, dan enak dipandang.

"Sepak bola adalah seni. Bukan soal keras-kerasan atau main kasar. Waduh, tidak seperti itu," kata Evan Dimas.

Pernyataan ini terasa begitu personal. Bagi Evan, seni bukan sekadar pelengkap, tetapi fondasi dari filosofi bermain bola. Ia ingin anak-anak didiknya di SSB Saraswati tidak hanya bisa menggiring atau menendang bola, tetapi juga mengerti makna gerak, keteraturan, dan kerjasama.

Lebih dari Pelatih: Membentuk Karakter Lewat Kerukunan

Di lapangan Desa Mojoarum, Evan bukan hanya pelatih. Ia adalah pembimbing. Seperti seorang koreografer, ia tak hanya menyusun taktik, tapi juga membentuk karakter anak-anak lewat kedisiplinan, empati, dan kerukunan.

"Ingat, yang lebih besar harus bisa jaga adik-adiknya saat bermain. Harus saling mengayomi. Begitu juga yang kecil, harus menghormati seniornya."

Sepak bola, dalam pandangan Evan, tidak cukup hanya dengan teknik dan fisik. Ia juga tentang bagaimana manusia berhubungan satu sama lain. Bagaimana satu pemain memahami rekannya. Bagaimana sebuah tim bergerak sebagai satu kesatuan.

"Menang dan kalah itu biasa, yang penting adalah menjaga kekompakan dan kerukunan. Main sepak bola yang indah," tutup Evan Dimas.

Read Entire Article
Bisnis | Football |