Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan “sangat sulit” untuk membuat kesepakatan dengan mitranya dari Presiden China Xi Jinping. Hal ini setelah Gedung Putih telah mengisyaratkan kedua pemimpin dapat berbicara pekan ini di tengah meningkatnya ketegangan perdagangan.
Mengutip CNBC, Rabu (4/6/2025), Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengatakan, pembicaraan perdagangan “sedikit terhenti” di dalam negeri, dan pemimpin kedua negara kemungkinan perlu mempertimbangkannya. Pada Senin, seorang pejabat senior Gedung Putih mengatakan kepada CNBC kalau Trump dan Xi Jinping akan berbicara pekan ini.
Masih belum jelas apakah panggilan telepon itu telah diatur. “Saya suka Presiden Xi dari China, selalu dan akan selalu, tetapi dia sangat keras dan sangat sulit untuk dibuat kesepakatan,” tulis Trump di Truth Social.
AS dan China saling menyalahkan karena melanggar perjanjian perdagangan yang dicapai di Swiss pada 12 Mei. Kesepakatan tersebut mencakup penangguhan sebagian besar tarif selama 90 hari, serta pencabutan luas tindakan balasan perdagangan oleh China terhadap AS yang diberlakukan sejak awal Apri.
China belum melonggarkan pembatasan ekspor tanah jarang secara signifikan, bertentangan dengan harapan Washington. China juga mengkritik AS karena terus berupaya membatasi akses China ke teknologi canggih. Pekan lalu, pemerintahan Trump juga mengumumkan akan mulai mencabut visa bagi pelajar China.
Menteri Luar Negeri China Wang Yi menuturkan, selama pertemuan pertamanya dengan Duta Besar Amerika Serikat (AS) yang baru David Perdue pada Selasa, kalau serangkaian “tindakan negatif” baru-baru ini oleh pemerintahan Trump didasarkan pada alasan yang tidak berdasar dan merusak hak dan kepentingan China, berdasarkan pernyataan resmi.
Kembalikan Hubungan Bilateral
Dalam pernyataan itu, Otoritas China mengutip pernyataan Perdue kalau Trump “sangat menghormati” Xi, sembari meminta AS untuk bertemu dengan China di tengah jalan dan bekerja sama untuk mengembalikan hubungan bilateral ke “jalur yang benar”.
“Ini tampaknya Beijing mencoba meninggalkan Kesan kalau Trump ingin berbicara. Beijing secara terbuka menunjukkan panggilan telepon itu sudah dekat,” ujar Lead China Economist and Strategist Evercore ISI, Neo Wang.
Ia mengatakan, pertemuan antara Perdue dan diplomat tinggi China itu direncanakan untuk membangun kepercayaan yang dibutuhkan China agar Xi Jinping tidak dipermalukan oleh Trump setelah panggilan telepon itu dengan kata-kata atau tindakan.
Dalam sebuah unggahan di platform X dahulu bernama Twitter pada Selasa malam, duta besar AS itu menekankan kepada Wang mengenai prioritas AS pada perdagangan, fentanil, dan imigrasi ilegal serta pentingnya menjaga komunikasi bilateral antara kedua negara.
Trump dan Xi Jinping terakhir kali berbicara pada Januari, tepat sebelum presiden AS itu dilantik untuk masa jabatan keduanya. Walaupun Trump dalam beberapa minggu terakhir mengatakan ingin berbicara dengan Xi, analis prediksi China menyetujuinya hanya jika ada kepastian tidak akan ada kejutan dari AS selama panggilan itu.
Ekonomi Negara-Negara Ini Ambrol Imbas Perang Dagang AS-China
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyoroti perekonomian sejumlah negara yang mengalami kontraksi pertumbuhan pada kuartal I 2025. Pelemahan ini terjadi menyusul perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang dipicu oleh kebijakan tarif impor beberapa waktu lalu.
Kontraksi di kuartal I 2025 terjadi pada sejumlah negara di kawasan Asia, Singapura, Malaysia, Korea Selatan, hingga AS yang memberlakukan tarif impor tertinggi sejak 125 tahun terakhir.
“Perang dagang eskalatif dan ketidakpastian arah kebijakan ekonomi dunia ke depan telah memperburuk situasi perekonomian dunia yang sudah rapuh sejak awal tahun,” ujar Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna Penyerahan KEM-PPKF 2026 di Jakarta, disiarkan pada Selasa (20/5/2025).
“Korea Selatan tumbuh hanya 0,1 persen year on year (yoy), pertama kali sejak COVID-19 tahun 2020 terjadi. Kemudian Malaysia yang pada triwulan IV 2024 sempat tumbuh 4,9 persen tetapi pada 2025 hanya tumbuh 4,4 persen,” Sri Mulyani menyoroti.
Seperti diketahui, Indonesia juga mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama 2025 yang mencapai hanya 4,87 persen yoy dibandingkan kuartal sebelumnya 5,02 persen yoy.
Adapun Singapura yang sebelumnya tumbuh 5 persen pada kuartal IV 2024 namun melemah menjadi hanya 3,8 persen yoy pada kuartal I 2025.
“Dan Amerika Serikat yang memicu terjadinya perang tarif tumbuh hanya 2 persen (di kuartal pertama) dari triwulan sebelumnya yang tumbuh 2,5 persen yoy. Amerika Serikat mengalami kontraksi akibat impor yang melonjak,” imbuh Sri Mulyani.
Xi Jinping: Tidak Ada Pemenang dalam Perang Dagang
Sebelumnya, pernyataan mengejutkan datang dari Presiden China Xi Jinping menyusul keputusan pencabutan tarif impor baru AS-China. Melansir CNN Business, Selasa (13/5/2025) Xi Jinping menyinggung isu perundungan dalam pembahasannya terkait perang dagang.
“Perubahan besar yang tak terlihat dalam satu abad sedang berlangsung cepat, yang telah membuat persatuan dan kerja sama antarnegara menjadi sangat penting," kata Xi Jinping dalam pernyataannya di hadapan pemimpin negara Amerika Latin dan Karibia di Beijing.
"Tidak ada pemenang dalam perang tarif atau perang dagang. Perundungan atau hegemonisme hanya mengarah pada isolasi diri," ujarnya.
Pidato Xi Jinping disampaikan sehari setelah AS dan China mengumumkan bahwa kedua negara akan secara drastis mencabut tarif impor untuk periode awal 90 hari.
Sementara itu, sejumlah media yang dikelola pemerintah China menyambut pencabutan tarif sebagai "kemenangan besar" bagi negara itu.
"Ini menunjukkan bahwa tindakan balasan tegas China dan sikap tegasnya sangat efektif," ujar Yuyuan Tantian, akun media sosial yang berafiliasi dengan penyiar negara CCTV, di platform Weibo.
Ketika negara-negara bergegas membuat kesepakatan dengan Trump setelah pengumuman tarif timbal balik, China mengambil pendekatan berbeda dengan mengenakan tarif atas barang-barang AS bersama dengan sejumlah tindakan balasan lainnya.
Selama lebih dari sebulan, tarif periode kedua Trump atas impor China tetap pada angka 145%, sementara pungutan balasan China atas barang-barang AS berada pada angka 125%.
Kesepakatan tebaru yant dicapai selama akhir pekan secara efektif berarti AS akan menurunkan sementara tarif keseluruhannya atas barang-barang China dari 145% menjadi 30%, sementara China akan memangkas pungutannya atas impor Amerika dari 125% menjadi 10%, menurut pernyataan bersama tersebut.
Sementara itu, pungutan tarif AS terkait fentanil dari China sebesar 20% akan tetap berlaku.