Perang Dagang AS-China Makin Ganas, Indonesia Sudah Siap?

7 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta Presiden RI Prabowo Subianto dinilai sudah siap dan sudah berpikir jauh ke depan soal perang dagang yang digaungkan baru-baru ini ke dunia oleh Presiden AS Donald Trump, termasuk ke Indonesia, dengan pemberlakuan tarif dagang baru.

Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan medan perang baru di dunia saat ini bukan lagi sekadar persoalan pembangunan atau pertumbuhan, melainkan geopolitik yang kian tak menentu.

Menurut dia, dalam lanskap ini, ekonomi bukan lagi sekadar urusan angka atau pasar, melainkan bagian integral dari strategi pertahanan nasional.

“Presiden Prabowo sudah berpikir jauh ke depan untuk menjadikan ekonomi sebagai fondasi pertahanan nirmiliter yang menyatu dengan sistem keamanan nasional,” ujar Fahmi dikutip dari Antara, Senin (7/4/2025).

Ia menjabarkan langkah-langkah ekonomi Prabowo seperti hilirisasi industri strategis, pembangunan lumbung pangan, transisi energi, dan insentif industri nasional tidak boleh dipandang sebagai proyek sektoral semata. Melainkan adalah bangunan awal dari benteng ketahanan nasional yang akan menentukan nasib Indonesia dalam puluhan tahun ke depan.

“Sejak awal, pemerintahan Prabowo tidak hendak membiarkan ekonomi kita hanya menjadi penyangga pertumbuhan global. Sektor strategis hendak ditransformasi menjadi pilar ketahanan nasional: dari industri pertahanan, pangan, energi, hingga teknologi. Kebijakan ekonomi harus dijalankan tidak hanya untuk mengejar angka, tetapi untuk membangun daya tahan dan daya saing,” jelasnya.

Tarif tinggi dari AS, menurut Fahmi, menjadi pengingat bahwa dalam kompetisi global, kekuatan ekonomi adalah cermin dari kekuatan negara.

Kebijakan Ekonomi Indonesia

Dengan demikian, kebijakan ekonomi Indonesia ke depan harus didesain sebagai strategi geopolitik: bukan hanya untuk tumbuh, tapi untuk bertahan dan memimpin.

Diplomasi perdagangan pun harus diperkuat, tak hanya untuk membuka pasar, tetapi untuk menegosiasikan posisi Indonesia secara strategis dalam rantai nilai global.

“Prabowo tidak sedang bermaksud membangun ekonomi yang sekadar kompetitif secara pasar, melainkan ekonomi yang berdaulat secara strategis. Dari hilirisasi hingga digitalisasi, dari pertanian modern hingga penguatan industri pertahanan—semuanya adalah bagian dari sistem pertahanan nasional yang holistik. Visi ini memerlukan konsistensi, ketegasan birokrasi, dan dukungan kolektif dari seluruh elemen bangsa,” jelasnya.

“Sinergi antara kementerian ekonomi, pertahanan, luar negeri, dan BUMN harus dipercepat, agar kebijakan tidak berjalan dalam silo dan fragmentasi. Di tengah dunia yang makin saling bergantung, justru ketergantungan yang tidak seimbang akan menjadi kerentanan baru,” lanjutnya.

Ini Alasan Sebenarnya Trump Kenakan Pajak Impor Tinggi

Sebelumnya, di balik jargon “resiprokal” dan perlindungan industri dalam negeri, ternyata tarif impor tinggi ala Donald Trump punya alasan yang lebih sederhana dari kelihatannya bahkan terkesan sembrono. Indonesia termasuk salah satu negara yang kena getahnya.

Dikutip dari CNN Business, Minggu (6/4/2025), kebijakan tarif Trump bukan didasarkan pada analisis tarif aktual atau hambatan dagang nyata, melainkan semata karena defisit perdagangan.

Negara yang mengekspor lebih banyak ke AS dibanding mengimpor langsung dicap sebagai “masalah”. Rumus yang digunakan bahkan dikritik karena terlalu sederhana, yakni defisit dibagi ekspor, lalu dikalikan 1/2.

Padahal, menurut para ekonom, defisit perdagangan bukanlah masalah struktural yang otomatis merugikan. Justru cara Trump membaca data ekonomi dan memakainya sebagai dasar kebijakan menimbulkan risiko perang dagang global.

Indonesia sendiri meski tarif MFN-nya tak tinggi tetap masuk daftar target karena dianggap menyumbang pada “ketimpangan” neraca dagang versi Trump.

Sebagian besar dari 15 negara dengan defisit perdagangan tertinggi terhadap AS mengalami tekanan dari tarif tinggi Trump. Termasuk di dalamnya Tiongkok, Vietnam, India, dan negara-negara Uni Eropa, termasuk Indonesia.

Ekonom Tak Sepakat dengan Logika Dagang Trump

Kepala ekonom di RSM Joe Brusuelas, mengatakan masalah utama yang diangkat oleh pemerintahan Trump sebenarnya lebih banyak terkait dengan hambatan non-tarif seperti subsidi industri, regulasi kebersihan, atau sistem birokrasi yang tidak transparan. Namun, para ekonom menilai bahwa pendekatan yang digunakan Trump tidak menyasar akar masalah secara langsung.

“Ini hanya upaya ad hoc untuk menghukum negara-negara dengan neraca dagang besar terhadap AS,” ujar Kepala ekonom di RSM Joe Brusuelas.

Padahal, menurutnya, neraca dagang lebih mencerminkan gaya konsumsi dan tabungan domestik AS ketimbang kebijakan perdagangan negara lain.

Dalam berbagai kesempatan, Trump menyebut defisit perdagangan sebagai krisis nasional yang mengancam pekerjaan dan pabrik dalam negeri.

Tapi tidak semua ahli sepakat. Profesor John Dove dari Troy University menyatakan, “Jika saya belanja di toko dan membayar dengan uang tunai, saya mengalami defisit dengan toko itu. Tapi apakah saya rugi? Tentu tidak," ujar Dove.

Defisit, kata para ekonom, hanyalah hasil dari dinamika pasar terbuka, bukan sesuatu yang otomatis buruk. Namun, Trump berargumen bahwa tarif bisa digunakan untuk mengoreksi defisit dan sekaligus meningkatkan pendapatan negara.

Read Entire Article
Bisnis | Football |