Waspada Pelemahan Rupiah Dampak Tarif Impor Donald Trump

1 day ago 6

Liputan6.com, Jakarta Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG) diperkirakan akan terus berlanjut seiring dengan kebijakan kenaikan tarif yang diumumkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Menurutnya, kondisi ini akan mendorong investor mencari aset yang lebih aman dan keluar dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.

"Rupiah? IHSG? Pelemahan kurs rupiah diperkirakan berlanjut, investor cari aset yang aman, keluar dari negara berkembang," kata Bhima kepada Liputan6.com, Minggu (6/4/2025).

Bhima menjelaskan, pelemahan kurs rupiah dapat membawa dampak luas terhadap perekonomian Indonesia. Salah satu konsekuensi utamanya adalah imported inflation atau inflasi yang berasal dari kenaikan harga barang impor.

Barang Impor Makin Mahal

Dengan rupiah yang semakin melemah, harga barang-barang impor seperti pangan, perlengkapan rumah tangga, dan barang elektronik akan mengalami kenaikan, yang pada akhirnya dapat menekan daya beli masyarakat.

"Tekanan rupiah wajib diwaspadai efeknya ke imported inflation (harga barang impor jadi lebih mahal), menekan daya beli lebih lanjut terutama pangan, dan kebutuhan sekunder (perlengkapan rumah tangga, elektronik dsb)," katanya.

Selain itu, setelah libur Lebaran, pasar saham juga harus bersiap menghadapi potensi capital outflow atau arus modal keluar yang semakin besar.

Jika tekanan terhadap pasar keuangan semakin tinggi, bukan tidak mungkin trading halt (penghentian sementara perdagangan saham) dapat terjadi kembali untuk menstabilkan kondisi pasar.

"Pasca libur lebaran, pasar saham bersiap hadapi capital outflow. Trading halt bukan tidak mungkin terjadi lagi," ujarnya.

Strategi Menghadapi Tantangan Ekonomi

Menurut Bhima, dalam menghadapi situasi ini, Indonesia perlu berfokus pada strategi jangka panjang untuk meningkatkan daya saing ekonomi dan menarik investasi.

Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain, mengejar Peluang Relokasi Pabrik. Dengan meningkatnya ketegangan perdagangan global, banyak perusahaan multinasional yang mencari lokasi baru untuk pabrik mereka. Indonesia harus bersiap menjadi destinasi utama relokasi industri, bukan hanya mengandalkan tarif resiprokal yang lebih rendah dibanding Vietnam dan Kamboja.

"Sekarang solusinya Indonesia harus bersiap lomba kejar peluang relokasi pabrik, dan tidak cukup hanya bersaing dari selisih tarif resiprokal Indonesia lebih rendah dari Vietnam dan Kamboja," ujarnya.

Kemudian, regulasi yang Konsisten dan Efisien. Kepastian hukum dan efisiensi perizinan menjadi faktor kunci bagi investor. Pemerintah sebaiknya menunda pembahasan regulasi yang berpotensi menimbulkan ketidakstabilan, seperti RUU Polri dan RUU KUHAP, agar tidak menciptakan ketidakpastian bagi pelaku usaha.

"Kunci nya di regulasi yang konsisten, efisiensi perizinan, tidak ada RUU yang buat gaduh (RUU Polri dan RUU KUHAP ditunda dulu), kesiapan infrastruktur pendukung kawasan industri, sumber energi terbarukan yang memadai untuk pasok listrik ke industri, dan kesiapan sumber daya manusia," katanya.

Selain itu, perlu dilakukan penguatan Fundamental Ekonomi. Dengan diterapkannya Global Minimum Tax, Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan insentif fiskal seperti tax holiday atau tax allowances untuk menarik investasi. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih fokus pada peningkatan daya saing fundamental melalui kebijakan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan.

"Faktor-faktor tadi jauh lebih penting karena Indonesia sudah tidak bisa guyur insentif fiskal berlebihan dengan adanya Global Minimum Tax. Kalau sebelumnya tarik investor dengan tax holiday dan tax allowances, sekarang saatnya perbaiki daya saing yang fundamental," ujar Bhima.

Peran Bank Indonesia

Adapun kata Bhima, Bank Indonesia (BI) masih memiliki ruang untuk melakukan intervensi moneter guna menstabilkan rupiah dan mendukung sektor riil.

Dengan cadangan devisa yang masih kuat, BI dapat mempertimbangkan penurunan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin sebagai langkah stimulus bagi sektor-sektor yang terdampak oleh ketegangan perdagangan global.

"Bank Indonesia masih punya ruang untuk operasi moneter, saat cadangan devisa gemuk. BI bahkan bisa turunkan suku bunga acuan 50 bps, untuk stimulus sektor riil yang terdampak perang dagang," pungkasnya.

Read Entire Article
Bisnis | Football |